
Laporan: Fikri Alihana
DALAM kondisi pandemi Covid-19 yang semakin hari meruntuhkan sektor ekonomi Indonesia. Membuat pemerintahan saat ini menerapkan paket kebijakan yang dinilai tidak masuk akal. Dimana rakyat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah semakin menjerit akibat kenaikan iuran BPJS kesehatan.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, Presiden memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya hampir 100 persen mulai Juli 2020 mendatang. Kenaikan khususnya dirasakan peserta mandiri kelas I dan II.
Seolah-olah, iuran yang kembali normal pada April lalu hanya sebagai penawar rasa sakit masyarakat di tengah pandemi corona. Namun, setelah dua bulan ke depan pastinya masyarakat harus bersiap menerima kembali kenyataan bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kembali naik.
Beberapa pengamat ekonomi menilai bahwa Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri. Apalagi, di tengah pandemi dan resesi ekonomi saat ini Putusan MA hanya berlaku 3 bulan yaitu April, Mei dan Juni 2020.
Tetapi, setalah itu peserta kelas 1 kembali naik menjadi Rp150.000 per orang dan kelas 2 menjadi Rp100.000 per orang dalam sebulan. Pasalnya, poin dari kenaikan iuran untuk pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Untuk kelas III, tarifnya akan naik 37 persen dari Rp 25.500 menjadi Rp 35.000. Sedangkan untuk kelas II dan I, kenaikan tarifnya hampir mencapai 100 persen atau dua kali lipat.
Memang hal tersebut tertera dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Namun, berdasarkan dengan keadaan perekonomian saat ini yang terus menerus mengalami penurunan. Hal itu dengan jelas mempengaruhi masyarakat khususnya yang terdampak langsung dengan Covid 19 sejak beberapa bulan terakhir.
Di satu sisi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan memupus tercapainya tujuan Jaminan sosial sebagaimana UU Nomor 40 tahun 2004 bahwa Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Sehingga, keikutsertaan dan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah indikator utama suksesnya perlindungan sosial kesehatan. Disamping itu, akar masalah defisit BPJS disebabkan karena permasalahan inefisiensi dan penyimpangan fraud. Dimana kenaikan iuran BPJS tanpa ada perbaikan tata kelola BPJS yang tidak akan menyelesaikan masalah.
Dikutip dari Liputan6.com, Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa diterbitkannya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan MA. Bahkan kebijakan tersebut telah mendapat restu dari wakil rakyat di Senayan.
Menurutnya, kebijakan ini sebagai upaya mendukung penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Di mana pada tahun 2020 peserta JKN atau KIS yang menunggak dapat mengaktifkan kepesertaannya kembali dengan hanya melunasi tunggakan iuran selama paling banyak 6 bulan.
Sisa tunggakan, apabila masih ada, akan diberi kelonggaran pelunasan sampai dengan tahun 2021, itupun agar status kepesertaannya tetap aktif. Untuk tahun 2021 dan tahun selanjutnya, pengaktifan kepesertaan BPJS Kesehatan harus melunasi seluruh tunggakan sekaligus. (**)