Jalaludin Main Lembah (44th) mantan pemain Arema Malang punya mimpi besar untuk memajukan sepakbola di daerah Sulawesi Tengah. Pesepakbola yang akrab disapa “Jenderal” itu mulai meniti karir di dunia kepelatihan. Pengalamannya di sejumlah klub hebat, kini disemai kepada bibit-bibit atlet muda masa depan agar tumbuh menjadi pesepakbola hebat.
_______
“AYO kawan-kawan kumpul, nonton film Jenderal Soedirman di kamar Jenderal!,” kenang Jalaludin Main Lembah (44th), menirukan ucapan rekan se- timnya di klub Pelita Jaya. Ditemui Metrosulawesi, Rabu (26/01/2022) sore, Jalal baru saja selesai melatih anak-anak usia 12-15 tahun di Sekolah Sepak Bola (SSB) Beringin Putra di lapangan Kelurahan Nunu, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Latihan sore itu sedikit terganggu sebab lapangan juga digunakan oleh atlet panahan. Jalaludin tak mau ambil resiko. Dengan seutas kertas dan pena ia hanya mengisi absen anak-anak yang hadir sore itu. Latihan tetap berlangsung meski hanya menggunakan seperempat dari luas lapangan. Jalal sesekali memberi arahan kepada anak asuhannya.
“Ya kalau anak-anak umur begini paling kita cuma ajari teori dasar bermain bola terlebih dahulu,” ujar Jendral, sapaan akrab Jalal.
Mantan Pesepakbola kelahiran Parigi Moutong itu memang akrab dipanggil jenderal oleh rekannya di Pelita jaya pada tahun 2006-2007. Itu karena cita-citanya yang sejak kecil ingin jadi tentara dan mengidolakan pahlawan nasional, Jenderal Soedirman.
“Karena di Hp (Handphone) dan laptop saya itu penuh dengan foto Jenderal Soedirman dan juga filmnya, jadi kawan-kawan lihat. Mulai di situlah saya dipanggil jenderal keterusan sampai sekarang,” ujar dia, diiringi tawa sumringah.
Ujug-ujug menjadi tentara, Jalal kini malah hanya jadi pelatih di SSB di salah satu kelurahan. Ya. Pesepakbola kelahiran 17 Februari 1977 itu baru mulai meniti karir di dunia kepelatihan. Coach Jalal, sapaan akrabnya, bukan tidak menunaikan cita-citanya jadi tentara. Faktor ekonomi memupus impiannya jadi patriot bangsa ala Jenderal Soedirman.
Jalal hanyalah anak seorang nelayan yang tinggal di daerah pedesaan tepatnya di Desa Ambesia, Kecamatan Tomini, Kabupaten Parigi Moutong. Masa kecilnya dijalani dengan serba kekurangan. Anak terakhir dari delapan bersaudara ini, bahkan sempat tidak melanjutkan pendidikan selepas lulus SMP.
Meski begitu, siapa sangka Jalal ternyata menorehkan prestasi yang luar biasa saat membela klub-klub hebat di liga profesional Indonesia. Sebut saja Arema Malang, Pelita Jaya, hingga Petrokimia Gresik pernah menggunakan jasanya kala masih merumput di lapangan hijau.
Dari Anak Angkat Hingga Jadi Pesepakbola Hebat

Jalal memulai karirnya di dunia sepakbola pertama kali saat membela klub kampong kelahirannya, Persitimo. Kala itu, dia masih berusia 16 tahun dan ditempatkan sebagai pemain bertahan. Kecintaannya terhadap sepakbola karena lingkungan di sekitar, terlebih rumahnya kala itu tepat berada di depan lapangan sepak bola.
Liga Soeratin U-17 tahun 1996 jadi awal yang merubah kehidupan Jalal ‘180 derajat’ hingga malang melintang di liga utama Indonesia. Tepatnya saat dia dijadikan anak angkat oleh, H Tato Masitudju, ketua Umum klub Tiswan Labuan Donggala.
Meski Persitimo hanya menjadi runner up, kepiawainya menjegal penyerang lawan, menarik pihak manajemen Tisswan yang keluar sebagai juara merekrutnya untuk ikut bergabung.
“Saat itu kami kalah di final dengan skor 5-2, di situlah H Tatto yang jadi ketua umum Tiswan menjadikan saya anak angkat,” kata Jalal.
Jalal masih ingat betul, usai pertandingan adik H Tato selama tujuh hari menginap di kediamannya di Desa Ambesia. Itu dilakukan, tidak lain bertujuan untuk membujuk Jalal agar mau jadi anak angkat dan dibawa menuju ke Kota Palu.
“Selama di rumah itu dia perhatikanlah, ini anak bagaimana kehidupannya, bahkan saya sampai ajak memancing dia ke laut,” kenang Jalal.
Jalal bercerita kala itu Tato Masitudju menyebut dia tidak akan jadi pesepakbola hebat jika hanya tinggal di kampung.
“Karena kalau mau jadi pesepakbola hebat itu nutrisi harus bagus dan juga fisik harus tetap dijaga, kamu gak akan berkembang kalau hanya berdiam diri di kampung,” ujar Jalal, menirukan.
Jalal akhirnya luluh. Tepat di usia 16 tahun, dia meninggalkan kampung halaman, rela jauh dari orang tua untuk meningkatkan kemahirannya mengolah si kulit bundar. Jalal merasa beruntung sekali dipertemukan H Tatoo Masitudju. Di situ ia akhirnya kembali mengenyam bangku pendidikan di SMA. Jalal juga banyak diajari pemahaman tentang agama selama dijadikan anak angkat.
Karirnya secara profesional pun dimulai sejak Jalal didaftakran oleh Ayah angkatnya belajar di SSB Palu Putra. Di situ jalal dilatih oleh pelatih legendaris di Palu, alm. Usman Arya yang banyak melahirkan pesepak bola hebat. SSB Palu Putra pada puncak kejayaan bahkan amat ditakuti oleh klub-klub lain di daerah setempat.
Jalal kian menunjukan potensinya jadi pemain bertahan selama dilatih oleh Usman Arya di SSB Palu Putra. Terbukti. Di tahun 1999 dia terpilih membela tim sepak bola Sulteng untuk mengikuti pra- PON.
“Di pra PON Sulteng belum berhasil lolos dan melaju ke PON tahun 2000,” kata Jalal.
Selepas dari Palu Putra, Jalal kemudian melanjutkan karirnya di klub Persikol Kolonodale. Tepatnya saat ayah angkatnya, H Tato Masitudju, jadi penjabat Bupati Morowali pada tahun 1999 2002. Di Persikol, ia hanya bertahan selama dua tahun. Di bawah asuhan pelatih, Erwin Soumampouw, Jalal sukses membawa Kolonodale sampai ke babak 16 besar liga divisi dua (Liga 3) nasional.
Pada tahun 2004, Jalal kemudian hijrah menuju wilayah utara pulau Sulawesi bergabung dengan klub Persmin Minahasa, yang tengah berjuang untuk lolos ke Divisi pertama liga Indonesia. Dari situ dia sempat dipinjamkan ke klub Petrokimia gresik.
Persmin kala itu memang memasuki puncak kejayaan. Di bawah besutan pelatih, Djoko Malis Mustafa, Persmin sempat tampil pada semifinal 2006 dan meraih trofi Tim Fairplay.
“Itu pencapaian tertinggi sepak bola di Sulawesi Utara sepanjang sejarah, sampai sekarang rekor itu belum terpecahkan lagi,” kata Jalal.
Pemain Tertua Incaran Klub Liga Utama
Pada musim 2007-2012 Jalal memasuki puncak karirnya sebagai pesepakbola. Meski sudah berusia 30 tahun, dia jadi pemain tertua yang di incar klub-klub hebat. Pada tahun 2007, dia direkrut oleh klub Pelita jaya. Walau bertahan hanya selama dua musim, di klub itu juga Jalal mulai punya keluarga baru dan akrab disapa jenderal hingga bergabung ke klub Arema di tahun 2009.
Jalal cukup berbangga masih dipanggil klub-klub hebat sekelas Arema Malang tepatnya di musim 2009-2010. Tak mudah masuk incaran klub di liga utama Indonesia. Robert Rene Albert, pelatih Arema kala itu, bahkan menyebut Jalal pemain langka yang pernah ia miliki. Itu karena usia Jalal yang memasuki kepala tiga dan bukan jebolan pemain timnas Indonesia.
“Karena dulu biasa yang sudah tua itu paling harus di timnas, atau tidak ia transfer pemain luar negeri,” ujarnya.
Meski tak banyak diturunkan saat membela tim Arema, Jalal banyak menerima ilmu baru dari Albert Rene. Di Arema, dia tak lagi belajar banyak teknik saat dilatih, tapi lebih pada membantu meningkatkan mental rekan se tim yang kebanyakan diisi oleh pemain muda. Setiap tampil, pemilik jersey bernomor punggung 4 itu pun selalu dipercayai memegang ban kapten oleh sang pelatih.
Bersama tim berjuluk Singo Edan, Jalal juga sukses untuk pertama kalinya mengangkat tropi Juara Liga Super Indonesia dan Runner-up Piala Indonesia.
“Arema jadi juara pertama di Liga Super Indonesia, itu sejarah yang tidak bisa saya lupa,” kata Jalal.
Dia akhirnya mengakhiri kiprahnya di dunia sepakbola selepas membela Mitra Kukar tahun 2011-2012 yang berhasil finish di Posisi tiga liga Indonesia kala dilatih oleh Benny Dolo.
Keyakinan Ala Sang Jenderal

Setelah memutuskan gantung sepatu, Jalal tak langsung terjun di dunia kepelatihan. Hampir bertahun-tahun dia habiskan untuk bekerja di salah satu perusahaan Suplier ikan di kota daeng, Makassar. Ia baru kembali aktif di dunia sepakbola setelah diajak sang kakak membangun sekolah sepak bola (SSB) di Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi.
Jalal awalnya tidak pernah punya niat untuk jadi pelatih belisensi apalagi melatih pemain muda. Dia bilang, tidak mudah melatih anak-anak yang sama sekali tidak pernah mengenal olahraga sepakbola. Belum lagi gaji di kelas SSB yang sangat tak sebanding dengan yang didapat saat dikontrak oleh klub-klub di liga utama.
“Kalau pemain kelas kita kan tidak harusnya melatih anak-anak di SSB lah, itu kerja berat,” katanya.
Sejak dibujuk oleh manajemen SSB Beringin Putra melalui kakaknya dari tahun 2019, pada tahun 2020 Jalal akhirnya mengiyakan tawaran jadi pelatih. Tekadnya memulai karir di dunia kepelatihan itu dimulai setelah mendapat lisensi D Pelatih. Dia kini mengejar target untuk memiliki lisensi C.
Di SSB Beringin Putra, Jalal melatih anak-anak usia 12-15 tahun. Di situ keseluruhan anak anak masih diajari teori dasar soal cara bermain sepakbola. Latihan itu dilaksanakan setiap tiga kali seminggu. Selain itu, waktunya dihabiskan di SSB Sigi untuk jadi manajer sekaligus pelatih. Kadang juga dia mendampingi anaknya yang juga masuk di SSB Galara Palu.
Belum genap setahun melatih SSB yang baru kembali aktif, Jalal kini diuji untuk bias memberikan hasil yang terbaik salah satunya di ajang liga Topskor zona Sulteng tahun 2021. Dari tiga pertandingan, SSB Beringin Putra U-15 berhasil meraih satu kemenangan dan dua kekalahan. Hasil itu tak membikin Jalal kecewa terlebih baru menjadi pelatih. Bagi dia, hasil imbang sama harganya dengan sebuah kemenangan.
“Karena tidak mudah melatih anak-anak yang baru pegang bola, saya tak terlalu kecewa karena anak-anak kalah dari tim yang sudah lama berkembang,” ujar dia.
Bagi Jalal, terjun di dunia kepelatihan kini adalah niat tulusnya mencetak pemain yang bias membawa nama besar daerah Sulteng di kancah nasional. Pelatih yang mengidolakan mantan pemain timnas, Widodo Cahyono Putro ini, tak peduli dengan nominal gaji yang diberikan oleh pihak manajemen. Itu karena dia paham betul susahnya kehidupan saat berada di kampong halaman.
“Kalau di sepak bola yang penting kita kerja ikhlas terserah mau berapa dibayar saya terima. Ini saya anggap pekerjaan mulia,” ucapnya. Meski dari lapangan sepakbola, Jalal ingin membuktikan kelak bisa menirukan sifat Jenderal Soedirman yang selalu teguh berjuang.
Jika Jenderal Soedirman penuh kesabaran mendorong semangat para tentara bergerilya melawan penjajah, Jalal, Jenderal di lapangan hijau, dengan tekat kuat kini menyemai bibit atlet pesepakbola masa depan untuk tumbuh jadi pemain hebat. Selamat berjuang Jenderal!. (addi pranata)