JADI PEMBICARA - Sekretaris PWI, Temu Sutrino (kiri) bersama Dewan Pengawas Yayasan Sukma Bangsa, Prof Ratno Lukito (tengah) saat menjadi pembicara pada seminar pers dan dunia pendidikan di Sekolah Sukma Bangsa Sigi, Jumat 24 Februari 2023. (Foto: Metrosulawesi/ Udin Salim)
  • Catatan dari Seminar Soal Pers dan Dunia Pendidikan

Masih dalam rangkaian kegiatan Open House, Sekolah Sukma Bangsa Sigi juga menggelar seminar yang mengupas soal fungsi pers dan dunia pendidikan. Menarik. Inilah kali pertama sekolah di Sulteng yang melaksanakan seminar dengan mengaitkan Hari Pers Nasional.

SEKRETARIS PWI Sulteng, Temu Sutrisno yang didapuk sebagai pembicara dalam seminar itu mengatakan, dewasa ini kemajuan teknologi begitu pesat, hingga memengaruhi semua lini kehidupan, termasuk pers.

Saat ini katanya, orang dengan mudahnya memperoleh informasi dari plaform yang ada. Yang memprihatinkan, masyarakat yang menerima informasi tersebut tidak mampu membedakan mana yang benar dan yang berita bohong (hoaks). Mereka begitu mudah percaya dan termakan oleh informasi hoaks.

“Dan yang parahnya mereka tidak mengecek sejauhmana kebenaran informasi itu, tetapi langsung dishare (dibagikan) ke media-media sosial mereka,” kata Temu.

Di era digital ini kata Temu, ada dua sumber informasi yang sama-sama disebut media. Satu media sosial, satunya lagi media pers (media yang dikelola secara profesional oleh pers).

Hoaks kata Temu, adalah informasi yang berasal dari media sosial, bukan produk wartawan atau pers. Hoaks dibuat oleh oknum dan disebar di media-media sosial.

“Dan celakanya, kebanyakan masyarakat kita cepat percaya dengan berita-berita seperti ini. Tanpa mengecek, langsung membagikannya. Inilah yang menyebabkan hoaks cepat menyebar,” ujar Temu.

Temu mengaku prihatin, karena kemajuan teknologi dan informasi itu sudah memengaruhi kehidupan sosial masyarakat, hingga akhirnya menggerus etika dan budaya yang ada. Tak terkecuali, termasuk telah menggerus etika pada dunia pers itu sendiri.
Ada banyak contoh dimana etika dan moral sudah bergeser.

“Misalnya, dulu orang malu, kalau ditangkap polisi. Sekarang, pejabat kita korupsi dan ditangkap, mereka tidak malu. Sebaliknya, mereka malah melambaikan tangan dan tersenyum, seakan-akan mereka tidak berbuat salah,” kata Temu.

“Yang lucunya lanjut, ketika mereka da..da.. dan ketawa, media justru memuat apa adanya saja. Padahal ini bisa membawa dampak buruk pada moralitas bangsa. Seakan-akan tindak pidana yang mereka lakukan itu, bukan apa-apa. Inikan repot,” tambah Temu.

Dewan Pengawas Yayasan Sukma Bangsa, Prof Ratno Lukito yang menjadi pembicara kedua dalam seminar itu mengatakan, dunia saat ini sudah dikuasai oleh pers dengan berbagai informasinya.

Pasca orde baru dan lahirnya reformasi kata Prof Ratno, masyarakat semakin bebas.

“Seperti burung dilepas dari sangkar, kita merasa reformasi itu membebaskan kita, kita merasa semuanya bebas melakukan apa pun. Sehingga mulai muncul perbuatan-perbuatan manusia yang sebelumnya malu kita lakukan, kita lakukan,” kata Prof Ratno.

Prof Ratno mengatakan, lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dimaksudkan untuk mengatur pers itu sendiri. Dalam Pasal 3 undang-undang itu disebutkan bahwa fungsi pers nasional, meliputi sebagai media informasi, hiburan, edukasi, dan kontrol sosial.

Dari keempat fungsi pers itu kata Prof Ratno, setidaknya ada tiga fungsi yang turut andil berkontribusi dalam memajukan pendidikan nasional. Yaitu, fungsi informasi, edukasi dan kontrol sosial.

“Jadi saya pikir, pers dan pendidikan itu bertaut sudah sejak lama, karena kita sadar bahwa pers itu juga berpengaruh dalam pendidikan kita,” kata Prof Ratno.

Seminar yang dilaksanakan pelataran Sekolah Sukma Bangsa Sigi itu diikuti sejumlah siswa dan guru dari beberapa sekolah menengah pertama di Sigi.

Seminar soal pers dan dunia pendidikan ini menarik perhatian. Terbukti ada cukup banyak peserta yang mengajukan saran dan pertanyaan kepada narasumber.

Rois, guru dari SMK 3 Sigi misalnya, menyarankan agar ada kurikulum pendidikan pers untuk SMP hingga SMA di Sigi. Menurutnya, ini penting agar anak-anak bisa mengerti lebih jauh soal dunia pers.

Pada kesempatan itu, Rois menanyakan sejauh mana peran pers dalam mengantisipasi hoaks atau berita bohong.

Menjawab pertanyaan itu, Temu mengatakan, berita hoaks adalah produk dari media sosial. Media pers tidak memproduksi hoaks, karena media pers itu dibatasi oleh kode etik.

“Jadi tidak mungkin pers itu memuat berita hoaks atau berita bohong. Kenapa? Karena pers itu harus memferivikasi semua informasi benar atau tidak, sebelum kita rilis,” jawab Temu.

“Ketika mendapat informasi, mestinya disaring dulu jangan langsung dishare. Kebiasaan membagikan informasi tanpa menyaring dulu, inilah yang menyebabkan penyebaran hoaks makin melebar kemana-mana dan meresahkan masyarakat,” tambah Temu.

Fadlul Rahman, siswa Sekolah Sukma Bangsa menanyakan manfaat kode etik wartawan.

Temu mengatakan, kode etik adalah guiden bagi wartawan dalam melakanakan tugasnya. Tugas wartawan itu ada enam ‘M’. Yakni: mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, menyimpan, dan menyampaikan informasi.

Tidak hanya siswi, Nurhias, guru matematika di SMA Negeri 2 Sigi menanyakan bagaimana membuat konten media sosial yang positif dan tidak melanggar.

Temu mengatakan, berbeda dengan Pers, media sosial seperti Youtube dan Tiktop diatur oleh UU ITE. Karena itu si pembuat konten pun harus hatihati dalam membuat konten. Konten yang dibuat jangan sampai melanggar norma-norma sosial atau kesusilaan masyarakat. Ketika itu dilanggar, si pembua konten akan dijerat dengan UU ITE.

Menurut Temu, ada banyak hal yang bisa dibuat konten positif dan menyenangkan.

“Misalnya kalau dalam hal mengajar, ibu bisa membuat konten cara belajar Matematika yang menyenangkan dan tidak membosankan,” jawab Temu. (udin salim)

Ayo tulis komentar cerdas