KEPALA Penjara mengizinkan saya menemui Ferdy Sambo. Sambo bersedia menerima saya untuk mewawancarainya. Tentu saja, ini pasti, wawancara imajiner, namanya.
Ketika saya memasuki ruang tunggu penjara, Sambo sudah duduk di kursi kayu tua dekat jendela berkisi besi yang tampaknya juga sudah tua. Rupanya dia sudah menunggu kedatangan saya. Seorang petugas penjara berpakaian dinas duduk di sampingnya. Boleh jadi lelaki tinggi, berkumis tebal, berotot, itu ditugaskan oleh pimpinannya untuk mengawasi pertemuan kami berdua.
Seketika lelaki berkumis itu berdiri. Tanpa senyum memersilakan saya duduk di samping Sambo. “Silakan duduk. Bapak yang mau bertemu Pak Sambo, kan?” Saya jawab dengan anggukan sembari tersenyum. Senyum ikhlas saya itu tak dibalas dengan senyum, tapi dengan wajah berwibawa yang dipaksakan. Saya paham itu.
“Bagaimana kabar, Pak Sambo?” Saya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.
“Baik, beginilah suasana dalam penjara. Kalau bisa saya dipanggil Sambo saja. Tak usah dipanggil Pak Sambo.” Permintaan Sambo itu membuat saya merenung, tapi baiklah, itu kan permintaannya. Saya mengindahkannya.
“Kelihatannya Sambo sekarang tambah gagah. Sehat dan wajahnya cerah. Juga rambutnya yang berombak kian gondrong. Apa tak dihantui dengan hukuman mati?”
Sambo melemparkan senyum tipis. “Vonis hukuman mati itu kan haknya Pak Hakim.” Sambo menatap lurus seakan menembus tembok penjara.
“Jadi Sambo menerima vonis hukuman mati, itu?”
“Saya serahkan ke pengacara saya. Saya ikhlas apa pun keputusan akhirnya.”
“Sambo mengakui kan sebagai pembunuh Yosua, dengan cara menembaknya?”
“Saya bukan pembunuh. Saya bukan penembak Yosua Hutabarat.”
“Lalu siapa penembak yang menyebabkan tewasnya Yosua?”
“Richard Eiliezer, kan.”
“Bukankah Sambo sebagai sutradara peristiwa berdarah ini?”
Sambo diam. Dia tertunduk. Agak lama. Tiba-tiba bangkit, lalu menatap mata saya. Tatapannya tajam. “Itu karena ulahnya Yosua sendiri.”
“Maksudnya, ulahnya sendiri?”
“Iya, Yosua telah mencoreng harga diri saya yang paling berharga. Dia ajudan saya, tapi dia tega melecehkan istri saya.” Mata Sambo berkaca-kaca. “Suami siapa yang tak emosi, yang tak marah besar bila istrinya diperlakukan tak senonoh.”
“Jaksa menyimpulkan, istri Sambo, Putri Candrawathi, tidak dilecehkan, tapi yang terjadi adalah perselingkuhan.”
“Istri saya mengaku telah dilecehkan. Saya percaya istri saya. Saya sangat tahu karakter istri saya. Dia bukan pembohong.” Sambo bernapas panjang.
“Mengapa Sambo melibatkan puluhan anak buahnya di kepolisian dalam peristiwa ini?”
“Saya minta maaf. Saya yang salah. Bukan mereka. Seharusnya mereka dibebaskan. Biarkan saya yang bertanggung jawab.”
“Satu-satunya anak buah Sambo yang terlibat dalam peristiwa ini dijatuhi hukuman ringan adalah Eiliezer, hanya satu tahun enam bulan.”
“Saya heran dengan vonis hakim itu. Bukankah dia yang membunuh Yosua dengan cara menembaknya. Seharusnya dia juga dipecat, seperti yang lain.”
“Eiliezer melakukannya semua karena perintah Sambo?”
“Saya tak pernah memerintahkan untuk menembaknya. Saya memerintahkannya untuk menghajarnya.”
“Buktinya, dia menembak Yosua hingga tewas.”
“Makanya, Eiliezer harus ikut bertanggung jawab. Dia pembunuh. Dia yang menembak. Bukan saya.”
“Apakah Sambo tidak menyesal telah bertindak sebagai sutradara dalam peristiwa berdarah yang melibatkan banyak orang ini?”
Sambo kembali tertunduk. “Saat itu saya panik. Saya emosi. Saya marah besar. Sekali lagi, suami siapa yang tidak emosi bila istrinya dilecehkan. Perasaan saya saat itu harga diri saya sebagai suami benar-benar tercabik.”
“Apakah Sambo dendam kepada teman-temannya di kepolisian yang selama ini memilih diam?”
“Apalah arti dendam dari saya yang akan hidup dalam penjara selama-lamanya.”
“Sebagai mantan Propam Polri, polisinya polisi, Sambo tentu banyak tahu apa yang terjadi dalam dunia kepolisian. Ada rencana membongkar semua itu dengan berbicara kepada wartawan?”
Sambo tiba-tiba menyunggingkan senyum. Senyumnya bermakna. Saat hendak menjawab pertanyaan terakhir saya itu, lelaki berotot dan berkumis tebal itu mendekat. “Maaf, Pak. Waktu berkunjung sudah selesai.” Dia pun memerintahkan Sambo segera kembali ke sel tahanan. Sambo patuh. Saya pamit. **