TENTU tak salah bila lelaki itu kita menyebutnya Tokoh Kita. Bukankah memang dia tokoh kita. Pemimpin kita. Kitalah semua, rakyat di desa ini, yang menjadikan dia tokoh. Tokoh kita. Tak ada yang perlu diperdebatkan sebagai tokoh kita. Dia pemimpin yang syah, lantaran dulu tak ada keraguan, kita memilihnya.

Suasana saat itu kita seperti terkena hipnotis yang menggebu menjagokannya. Seakan tak secuil celanya. Seakan utusan dari langit. Sempurna, begitu. Tanpa cacat masa lalu, mungkin juga masa depan. Sampai di sini tak ada yang salah, kan?
Hari ke hari hingga tahun ke tahun, Tokoh Kita sungguh bahagia sebagai pemimpin pilihan rakyat.

Di masa-masa awal, Tokoh Kita dekat dengan rakyat. Kebijakannya terasa benar di hati rakyat. Hal itu terjadi pada tahun-tahun pertama hingga pertengahan usia kepemimpinannya yang diberikan oleh rakyat. Rakyat pedesaan.

Ketika rakyat mulai menagih janji-janji yang disampaikan, dulu, Tokoh Kita, bukannya mengindahkan, justru melawannya dengan gaya barunya, itu.

Tokoh Kita punya pandangan, untuk menjadikan desa ini menjadi desa modern, kelak rakyatnya lebih sejahtera, maka wajib ada gagasan besar. Ide besar. Tindakan besar. Dan terpenting, modal besar. Dibutuhkan mercusuar. Semua itu butuh keberanian untuk memulainya.

Bila rakyat tak menghendakinya, perlawanan, apa pun bentuknya, perlu digerakkan. Sejak saat itu, zaman otoriter gaya baru berjejak di desa yang selama ini dikenal sebagai desa makmur sentosa. Tokoh Kita, dengan gayanya, berdiri tegak tak bergeming. Dia pun menikmati kontroversial itu dengan prinsip yang tak goyah.

Mendapat perlawanan dari delapan penjuru, bukannya Tokoh Kita tak gentar. Sempat juga gentar. Dalam susana kabut itu, tiba-tiba Tokoh Kita mengingat sebuah paham yang membenarkan, membela sikapnya, itu.

Adalah Nicollo Machiavelli (1469 – 1527). Filosof ini lahir di Florens, Italia. Buku karyanya yang sangat fenomenal berjudul “Pangeran.” Terbit di era Renaisans.

Penguasa yang haus akan kekuasaan sungguh mengagungkan buku ini lantaran mengupas tuntas dan unik tentang: cara menggapai dan mempertahankan sebuah kekuasaan.

Manchiavelli tak sepaham pemikiran yang menyekutukan politik dan etika. Baginya, etika itu tidak penting. Karena itu harus dibuang, demi langgengnya politik kekuasaan.

Untuk mencapai mimpi radikalnya itu, maka kekuasaan harus direbut dengan menghalalkan segala cara. Tak peduli harus memakai siasat kotor.

“Kalau kekuasaan sudah dalam genggaman, maka wajib dipertahankan dengan cara apa pun, dengan cara kekuatan apa pun…” Machiavelli.

“Tokoh Kita, tentu, bukan Nicollo Machiavelli.” Begitulah harapan rakyat di desa, itu. Sebuah harapan yang lahir dari keraguan. **

Ayo tulis komentar cerdas