
- Film “Hidup dengan Bencana” Mulai Tayang
Palu, Metrosulawesi.id – Sinekoci Film Lab mulai menayangkan proyek film bertajuk ‘Hidup Dengan Bencana’ sejak tanggal 17 Juli 2022.
Salah satu penggagas Sinekoci sekaligus produser impact proyek tersebut, Mohammad Ifdhal kepada Metrosulawesi di Palu, Selasa, 19 Juli 2022 menuturkan, perdana pemutaran empat film dokumenter pendek tersebut.
Pemutaran film dimulai dari “Tanigasi”, film garapan Tanasanggamu, yayasan non profit di bidang pendidikan pertanian asal Desa Toaya, Kabupaten Donggala.
Selanjutnya keesokan harinya, Senin malam, 18 Juli 2022, giliran film oleh Forum Sudut Pandang yang diputar yang berjudul “Saya Di Sini, Kau Di Sana”.
Film Tanigasi sendiri, membahas resiliensi ihwal potensi kebertahanan hidup manusia dari bencana alam lewat medium nyata yakni gampiri-lumbung padi versi Suku Kaili- yang subjeknya ditarik dari sisi pertanian.
Film Tanigasi yang diputar di Desa Pombeve Kabupaten Sigi, mengundang antusias penonton pascapemutaran atau sesi diskusi film.
“Syukur dihadiri puluhan warga Pombeve, sebagiannya dihadiri pemuda kalangan usia 20 tahun. Di sesi diskusi ini tampak jelas pendapat antara pemuda dan petuah tentang bagaimana cara bertahan hidup di tengah rawan bencana khususnya di kawasan Pombeve,” ujarnya.
Saking serunya pembahasan makna film yang diputar mulai pukul 21.30-22.00 itu, sesi diskusi baru benar-benar rampung lebih dari jam satu malam.
Sementara film “Saya Di Sini, Kau Di Sana”, disajikan perdana di Balai Desa Kaleke Kabupaten Sigi mulai pukul 9 malam sampai lewat jam 12 malam.
Forum Sudut Pandang, organisasi kesenian mandiri non profit asal Kota Palu, tertarik menelisik perjalanan masa ke masa kehidupan antara manusia dan buaya di sepanjang Sungai Gumbasa Sigi terhubung Sungai Palu.
Sorotan terhadap film itu dibilang Ifdhal menjurus pada ‘konflik ruang hidup’ dua makhluk tersebut yang telah terjadi khususnya beberapa tahun terakhir.
“Nah teman-teman FSP (Forum Sudut Pandang) menyajikan seperti apa sih sejarah populasi buaya dan sikap manusia di Lembah Palu sejak dulu kala,” imbuh Ifdhal.
“Bahkan fakta menariknya, warga Kaleke itu dulu mengambil pasir (di Sungai Gumbasa) sementara buaya lewat-lewat di dekatnya. Kejadian yang juga terjadi di Teluk Palu ini kan menarik jadi pembahasan khusus,” pungkas pria asal Palu berusia kepala dua ini.
Adapun dua film lainnya, Timbul Tenggelam karya Sikola Pomore asal Desa Tompe, Donggala mengangkat literasi kebencanaan di Tompe versi tuturan pengalaman tanya dari anak kecil ke orang dewasa.
Bocah itu menggali pendidikan mitigasi bencana, yang muaranya adalah menyinggung simpang siur huntap (hunian tetap) di Tompe yang kadung terjadi hingga kini. Terakhir, Turun Ke Atas ciptaan Perpustakaan Mini Nemu Buku asal Palu, menampilkan narasi makna toponimi daerah di Palu erat kaitannya dengan histori kebencanaan Bumi Tadulako, yang dalam hal ini Kelurahan Balaroa sebagai pemantiknya.
Reporter: M. Faiz Syafar
Editor: Syamsu Rizal