Ahmad Maulidi. (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Ahmad Maulidi

Dan gerimis kembali mengukur kisah
Menyatakan perasaannya terkenang dan terhempas
Pada dinding-dinding kerinduan di tengah kota
Tersemat rasa tentang harapan yang ingin bersua

Dan hujan turun menyisir batas pengalaman
Di ujung penantian berharap rindu itu terbalaskan
Adalah kenangan serupa lampu-lampu jalan
Yang saling mendekap oleh hangatnya cahaya malam

Rindu itu harus bertepi
Seperti laut, angin, dan gunung
yang berbatas

Rindu itu harus berhenti
Ibarat surat, chat, dan telpon
yang tak mesti terbalas

Ingin kamu apakan rasamu?
Sekiranya gerimis yang kau harap menjadi hujan
Justru terhenti tak bergeming
Tak menyisakan sedikit pun petrikor untukmu

Sudahi setiap rasa yang kamu lahirkan
Nikmatilah sendumu di pertengahan waktu
Dibanding harus bersedu sedan di akhir usiamu

Biarkan rintik gerimis menjadi milikmu
Biarkan ia bercerita bersamamu
Biarkan hujan lepas dari genggamanmu
Karena hujan tak bisa menjadi milikmu


Bencana Malam

Pulanglah kawan
Sudah selarut ini
Kau masih di luar
Padahal bulan
Sedikit lagi bergulir
Pindah tempat
Ke sepertiga malam

Kau dengarkah itu?
Suara burung-burung malam
Telah berganti bunyi
Tepat pukul satu dini hari
Kokok ayam pertama
Menyahut bangunkan malaikat

Kembalilah ke rumahmu kawan
Kita sudahi bincang ini
Besok pun kita
Masih bisa bertemu
Mengadu cerita
Yang tidak selesai

Kawan
Biarkan alam yang mencumbu malam
Jangan kita
Sekalipun cerita
Yang tak henti kita ceritakan
Bercerita tentang Kalam yang dalam
Berkisah tentang malam yang kelam

Cukup kawan
Mimpimu harusnya kau tinggal dalam tidur
Tapi sampai malam berganti detik
Justru kau yang tertidur dalam mimpi
Membawa cita-citamu
Bersemayam dalam suara
Lalu asamu hanya berupa kata

Kawan
Besok kita masih bisa bertemu
Melanjutkan mimpi yang sama
Yang dibangun oleh kita
Hingga pagi datang
Membawa kopi pahit
Dengan aroma pekat

Kawanku
Sudahlah bercerita
Kita bukan pemuja malam
Yang tersesat dalam gelap
Berputar-putar di sepanjang jalan
Kita punya rumah
Untuk pulang
Untuk mendulang
Rindu dan sayang
Kepada pemilik ranjang


Abhati

Rindu itu mencari peraduan
Langkahnya sedikit pelan
Karena hujan turun Jelang malam
Desir angin lalu juga menghilang

Sudah tidak ada lagi perasaan
Tentang dunia yang fana
Alam lebih memilih kenyataan
Yang bercerita bahwa ujung jalan
Adalah tempat yang nyata

Abhati melihat sinar keagungan
Ia menjemput cahaya yang suci
Ketika Ramadhan mulai beranjak
Dan rindumulaimenyeruakmencari

Abhati adalah sinar kesucian
Sentiasa menggemakan Sabda ilahi
Pada lagu yang dinyanyikan
Bersama doa-doa tengah malam
Yang dihimpun lewat bahasa kalbu
Lalu dikirim langsung kepada sang pemilik

Bergetarlah suara keagungan itu
Memanggil jiwa-jiwa yang kering kerontang
Mengirim pesan tentang hari esok
Penuh suka dan kebahagiaan

Abhati menjadi cahaya
Menemani langkah-langkah yang goyah
Hingga tiba di ujung jalan
Menuju ke rumah sang Ilahi

Biodata Penulis: Ahmad Maulidi, aktif sebagai tenaga pengajar di salah satu SMA swasta yang ada di Kota Palu. Kegiatan menulis sudah dilakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Beberapa karya puisi pernah dimuat di Harian lokal Kota Palu Radar Sulteng dan Mercusuar, juga tulisan esai termuat dalam buku kumpulan esai ‘Guru Bisa Menulis’ yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah.

Ayo tulis komentar cerdas