Home Senggang Gerhana 1983

Gerhana 1983

0
Mufti Wibowo. (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Mufti Wibowo*

AKU mengundang mereka makan malam di sebuah rumah makan yang dikenal karena menu panekuknya. Bukan tanpa alasan aku memilih rumah makan yang menggunakan bekas bangunan peninggalan Belanda itu.

Di halaman bangunan tua itulah, pada pertengahan tahun 1983, keduanya berciuman untuk kali pertama. Siapa akan melupakan momen sesentimental itu bukan? Mereka disaksikan pohon-pohon ketapang yang berjajar sepanjang  Jalan Katamso yang menghubungkan antara Soedirman dengan Kombas yang siang itu begitu lengang, orang-orang takut beraktivitas di luar rumah karena gerhana matahari total. Kita hari ini akan menertawakan kebodohan macam itu, tapi Papa dan Mamaku telah melakukannya lebih dulu. Diam-diam aku bangga menjadi buah cinta mereka.

Pada tahun itu, sebelum malam pergantian tahun, Papa mendadak harus meninggalkan Purwokerto untuk melanjutkan studi di Bandung. Dia akan tinggal dengan pamannya yang seorang dokter hewan. Pada saat yang sama, anak gadis wanita yang oleh Papa biasa dipanggil Bibi Min dan sehari-hari bertugas memasak dan mencuci baju orang serumah—tanpa Papa ketahui—kedapatan mual-mual; semua orang kemudian akan tahu tiap minggu perutnya makin buncit layaknya anak Krakatau sebelum erupsi.

“Apa kabarmu Aphelion?”

“Kamu masih ingat rupanya, Perihelion?”

“Kamu yang mengajariku dan membuatku jatuh cinta pada hal-hal yang ada dan terjadi di langit sana.”

“Dulu, kukira tak akan ada rahasia lagi jika kita mengetahui apa-apa yang ada di langit. Tapi, kamu tahu,aku justru gagal memahami setiap kehendak langit.”

“Sudahlah. Waktu itu, kita hanya anak ingusan bukan?”

“Akan lebih baik jika orang dewasa tak merasa paling mengetahui dan ingin mengatur segalanya.”

“Pada kenyataannya, kita bergantung pada mereka.”

Papa menangis sesenggukan, mungkin seperti Adam yang menyesali kebodohannya bersekutu dengan Eva dalam hal bidah.

“Aphelion, kamu tak banyak berubah rupanya.”

“Aku Aphelion yang terlahir di bulan Juli, saat musim panas di London dan musim dingin di Tasmania. Dan, musim kemarau di Jawa terasa sejuk.”

Nenek menginggal saat usiaku belum genap setahun, kata Mama karena sakit paru-paru. Kematian nenek itulah yang membuka jalan bagi Mama keluar dari rumah itu. Sebuah keputusan yang sulit kumengerti sebenarnya. Sebab, demi keluar dari rumah itu, mama harus merelakan aku tinggal di sana. Opa dan Oma gagal membujuk Mama untuk bertahan. Mama berkeinginan memutus mata rantai nasib keluarganya sebagai babu di rumah itu, setelah nenek dan ibunya pada masa lalu.


Evan merasa dirinya bukan lagi anak-anak. Tumbuh dalam keluarga penganut agama yang taat dan terpandang membuatnya gagap saat berada di luar rumah. Sejak itu, ia berpikir dinding rumahnya adalah jeruji yang mengasingkannya. Dia memiliki kesenangan—sebuah kemewahan—dari bacaan yang berlimpah di rumahnya. Dari buku, majalah, dan koran itu, ia mengenal cerita-cerita petualanganan. Dia menyukai cerita silat dan detektif.

Momentum itu didapatnya saat masuk SMA. Dengan bekal yang dikumpulkan dari menyisihkan uang jatah bulanannya selama setahun terakhir, dia bertekat bertualang diilhami buku-buku yang ditekurinya sejak SMP. Suatu pagi, ia pamit ke sekolah dan baru pulang sebulan kemudian.

“Kenapa pulang, habis uangmu?” buru ayahnya.

“Sudah, marahnya nanti saja. Biarkan dia mandi dan makan dulu baru bicara,” lerai ibunya.

Tak banyak yang mereka bicarakan seusai makan. Ia terlihat sangat kantuk setelah makan dalam porsi yang sangat banyak, dan lahap. Seminggu terakhir, dia makan sehari sekali dan tidur di sembarang tempat, sebelumnya dia bisa makan dua kali sehari dan menyewa kamar murahan. Jika minggu itu tak sampai rumah, dia akan menjadi gembel. Biar begitu, dia tak pernah menyesalinya lantaran merasa telah berhasil menaklukan semua kota besar di Jawa, dari barat sampai timur.

Pembicaraan setelah makan malam itu diakhiri sebuah keputusan penting dari ayahnya, Evan harus tidur di gudang seminggu. Dia sudah dikeluarkan dari sekolah lamanya dan dua minggu kemudian dia akan menjadi siswa baru sebuah sekolah swasta yang berisi anak-anak buangan dari sekolah-sekolah favorit di kotanya.

Ibunya yang hendak membanding keputusan itu urung saat Evan dengan ketenangan tak terduga menerima keputusan itu dengan sebuah permintaan yang lekas dikabulkan, “Asalkan aku boleh membawa buku-bukuku dan lampu gudang selalu menyala.”

Hukuman itu mulai berjalan malam itu juga, dia masuk ke gudang dengan membawa bertumpuk buku—sebenarnya milik ayahnya. Dia hanya keluar untuk ke kamar mandi, selebihnya semua aktivitasnya dilakukan dalam gudang yang berisi barang-barang bekas. Dia tidur di atas tumpukan kardus dengan pencahayaan yang cukup untuk membunuh kesepiannya dengan membaca. Bukan hantu yang menakutinya, melainkan kecoa, tikus, dan nyamuk.

“Kamu siapa?”

“Resti, anak Bibi Min,” jawabnya sambil meletakkan piring nasi, mangkuk sup, sambal, dan beberapa potong daging ayam dan tempe goreng.

“Jadi Bibi Min punya anak gadis.”

Resti berlalu dengan wajah merona dan seulas senyum yang akan menghantui kepala Evan sepanjang malam nanti.

Resti baru kembali membawakannya makan dua hari kemudian.

“Jangan buru-buru pergi, temani aku makan.”

Resti manut saja. Diatak berani memulai pembicaraan. Dia malah tertarik pada tumpukan buku, majalah, dan koran yang sangat berantakan itu.

“Kamu boleh membacanya.”

“Kalau mau, aku bisa merapikannya.”

Evan mendadak tersedak demi mendengar jawaban Resti. Karenanya, makanan di mulutnya berhamburan mengenai sebagian buku dan majalah. Resti buru-buru mengulungkan gelas berisi air yang dituangnya dari gogok. Katanya penuh penyesalan, “Maaf, biar saya yang bersihkan.”

“Kamu sekolah?”

“Kelas 1 SMA.”

“Hah, kita seumuran. Kenapa Bibi tak pernah bercerita padaku.”

“Sejak kecil aku tinggal dengan nenek. Dua bulan lalu, nenek meninggal. Ibu mengajakku tinggal di sini sebulan lalu.”

“Kamu lahir bulan apa?”

“Januari.”

“Aku Juli. Cocok!”

“Apanya?”

“Bacalah ini,” sambil menyurungkan majalah sains dengan foto wajah Einstein di sampulnya, “kamu akan menyukainya.”

Resti mengangguk dengan wajah malu-malu.

“Kamu sudah tahu namaku?”

Resti tersenyum lalu mengangguk lagi.

“Adakah lem di mulutmu sehingga tak bisa rahangmu bergerak untuk bicara satu kata saja,” gurau Evan yang mengundang gelak tawa Resti kemudian.

“Nama Evan adalah pemberian orang tua. Aku tak menyukainya. Kamu harus memanggil aku Aphelion.”

“Apa? Eh, siapa?

“Ikuti aku, Ap-he-li-on. Mengerti?”

Sekali itu Resti tidak mengangguk, hanya tersenyum. Senyum yang membuah hidung Perihelion mekar dan merah.

“Dan aku akan memanggilmu, Pe-ri-he-li-on. Setuju?”

Resti tersenyum lagi.

“Kamu akan tahu arti nama-nama itu setelah membaca majalah itu. Jawab ‘iya’.”

Mereka tertawa bersama hingga mata berair.

Hari terakhir masa hukuman itu, Evan telah merencanakan untuk melakukan sebuah kegilaan. Dia rela jika harus menerima hukuman tambahan dari ayahnya. Dari sebuah majalah dan surat kabar, dia telah tahu prediksi akan terjadinya gerhana matahari. Subuh-subuh,dia menyusup keluar dari gudang bersama Resti. Mereka berjalan kaki menyusuri jalanan Purwokerto yang lengan.

Tepatmatahari tertutup sempurna, mereka berhenti di bawahsalah satu pohon ketapang, di depan bangunan Belanda, Evan mencium Resti yang sedang sibuk mengeluarkan bekal makan dan minum dari tas ransel yang digendong Evan sepanjang perjalanan. Ciuman itu baru berakhir saat mereka meyadari sinar matahari perlahan mengintip.

Hukuman tambahan itu tidak pernah diterima Evan. Ketika semua terlihat akan berjalan normal, ayah dan ibu Evan mendengar kehamilan Resti dari pengakuan Bibi Min.

Masalah itu tidak akan terlalu pelik untuk diurai jika saja Evan tak pernah menyadap susu dari puting Bibi Min. Setelah dilahirkan, Evan tak pernah menyadap susu dari puting susuibunya. Karena itulah, Bibi Min menyanggupi permintaan ayah dan ibu Evan untuk menjadi ibu susu bagi Evan. Secara kebetulan, Bibi Min masih dalam masa menyusui anak perempuannya, Resti yang harus ditinggalnya bekerja, setelah suaminya menghilang tertelan gelombang tinggi saat melautdi Segara Kidul. Hormon kebahagiaan menyuntikkan bibit air mata yang mula-mula menjadi genangan di pelupuk mata keduanya; sebelum pecah menjadi tangis haru saat tubuh keduanya tak kuasa melawan naluri untuk berpelukan. Air mataitu pula yang memaskan otot lidah dan bibir mereka yang sempat terkunci beberapa detik sebelumnya saat pertama pandangan mereka bertumbuk dari jarak diameter mejamakan. Itu adalah pertemuan untuk kali pertama sejak perpisahan yang seusia denganku, seperempat abad.

Biodata Penulis: Mufti Wibowo berdomisili di Purbalingga, Jateng. Penulis buku ‘Catatan Pengantar Tidur’.

NO COMMENTS

Ayo tulis komentar cerdas Cancel reply

Exit mobile version