Perlu Pendekatan Baru Hentikan DF

SELAIN penegakan hukum, pemerintah daerah di Sulawesi Tengah juga perlu melakukan pendekatan baru untuk menyelamatkan Cagar Biosfer Kepulauan Togean. Bisa belajar dari Kabupaten Selayar, Sulsel atau apa yang diterapkan di Pulau Buru, Maluku.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, operasi berbasis pasar dan darat perlu dilakukan karena penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan bermula dari daratan.
Menurutnya, disinsentif berupa imbauan, ancaman, dan penyitaan perlu dilakukan kepada pelaku pasar yang menjual ikan hasil DF agar timbulkan efek jera sehingga mereka tidak menampung ikan hasil DF.
Ocean Program Manager EcoNusa, Wiro Wirandi sependapat dengan Abdi Suhufan. EcoNusa adalah yayasan yang berfokus pada upaya peningkatan berbagai inisiatif tingkat lokal dan internasional dalam rangka pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di wilayah Maluku dan Papua.
Menurut Wiro Wirandi, skema atau pendekatan pasar telah diterapkan pada nelayan di Pulau Buru, Maluku. Sekelompok pengusaha perikanan di Pulau Buru berkomitmen hanya membeli ikan dari hasil penangkapan yang legal.
Melalui skema tersebut, terdata dengan baik lokasi penangkapan ikan, siapa yang menangkap, dan siapa pemasoknya.
“Skema ini behavioristik dan dianggap berhasil mengubah perilaku nelayan di Pulau Buru (Maluku). Setelah enam tahun, nelayan berubah. Pemerintah dan industri di sana (Togean) harus menyusun sebuah skema,” ujar Wiro, Senin 17 Mei 2021.
Skema serupa juga dilakukan di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Karakteristik wilayahnya mirip dengan Togean karena di sana terdapat Taman Nasional Taka Bonerate. Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Nirwan Dessibali mengatakan, pihaknya melakukan program pendampingan di Desa Tarupa, Kecamatan Takaonerate. YKL Indonesia melakukan pendekatan terhadap pengepul ikan demersal di Desa Tarupa agar mereka hanya membeli ikan dari hasil non-DF.
“Harga beli lebih tinggi ketimbang dari hasil bius atau bom,” katanya, Jumat 21 Mei 2021.
Soal ide itu, Kepala Bidang Pengelolaan dan Penyelenggaraan TPI Dinas Perikanan Tojo Unauna, Muzamil mengatakan ide pendekatan pasar bagus.
“Kami belum melakukan operasi di darat karena kita akan berbenturan dengan masyarakat. Memang bisa, tapi hati-hati karena risikonya tinggi,” katanya.
Peneliti Universitas Tadulako Palu, Dr.Ir Muh Nur Sangadji DEA yang pernah melakukan riset tentang respons masyarakat terhadap penetapan kawasan konservasi Kepulauan Togean mengatakan, akan selalu ada yang bertindak menyimpang dalam komunitas manapun. Oleh karena itu, perlu pencegahan dengan mengingatkan (preventif) atau tegur hingga penegakan hukum (kuratif atau law enforcement). Namun, hal yang terpenting adalah memberdayakan mereka.
“Mungkin ada yang sudah paham, ada juga yang belum paham. Sudah paham saja belum tentu ikut menjaganya, apalagi yang belum paham. Jadi mesti terus diedukasi hingga masyarakat tahu atau paham dan mau melakukan prinsip konservasi tersebut,” katanya kepada Metrosulawesi, Rabu 26 Mei 2021.
Ketua Ampana Dive Community, Indrawijaya Laborahima melihat Togean dari sisi potensi pariwisatanya. Menurutnya, jika pariwisata dikelola dengan baik, maka masyarakat akan merasakan dampak positif. Dengan demikian, dipastikan ikut menjaga kawasan tersebut dari praktik DF dan bahkan merawat terumbu karang. Hanya saja, kata dia perlu perencanaan yang baik dan kolaborasi dengan berbagai pihak seperti pemerintah provinsi, pusat, dan organisasi perangkat daerah. Selain itu, kolaborasi dengan organisasi pendukung kepariwisataan seperti Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Association of Indonesia Tour and Travel Agency (ASITA), Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), dan Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta (Gahawistri).
“Akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah dan media saling berkolaborasi,” ujarnya.