Oleh: Aldinar Sinaga*
KAGET dan rada tidak percaya membaca postingan kawan Sabria Mohammad Sabri di wall akun FB nya yang menyebutkan, sobat lama saya ketika masih di Palu, Ansar Jotman (Ansar Yotomaruangi) telah kembali menghadap Ilahi yang empunya kehidupan, Senin, 13 Juli 2020 di Palu.
Secepat itu pula, khayalan saya langsung menembus waktu sekitar 27 tahun lalu, 1993. Anak muda atlet Silat berprestrasi itu menjadi satu-satunya harapan masyarakat Sulawesi Tengah dalam gelaran PON XIII di Jakarta untuk terhindar dari satu-satunya peserta PON yang tidak “kebagian” satu medali pun.
Saat itu, sebagai wartawan Harian Mercusuar Palu, hanya saya satu-satunya wartawan yang diutus KONI Sulawesi Tengah (boleh juga dong bangga) untuk meliput adu prestasi atlet antarprovinsi yg digelar empat tahunan itu.
Bagaimana tidak, seluruh kontingen Tim PON XIII terutama para pengurus KONI Sulawesi Tengah dirundung cemas yang tak karuan. Sebab tiga hari menjelang penutupan PON (kalau tidak salah ingat), Sulawesi Tengah masih terus bercokol di urutan bontot dengan posisi juru kunci dan belum memperoleh medali apa pun.
Pada hari itu, Ansar turun bertanding dari cabang Penak Silat, yang memasuki babak final memperebutkan medali emas. Dengan beban berat yang digantungkan seluruh masyarakat Sulawesi Tengah, Ansar diharapkan harus dapat menyabet medali emas. Sebab dengan medali emas, peringkat Sulawesi Tengah akan terdongkrak dari juru kunci paling tidak urutan 26 dari 27 provinsi kala itu.
Tapi apa mau dikata, nasib tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak, meski sempat kontroversi karena ada indikasi wasit “main mata” kemudian “mengalahkan” Ansar dalam pertarungan final tersebut. Dengan rasa penyesalan yang mendalam, dia menangis sesenggukan usai pertandingan itu, karena tak dapat menyumbangkan medali emas. Meski demikian, semua kontingen memberikan semangat bagi Ansar dan angkat topi karena satu-satunya yang menyumgbangkan medali.
Alhasil, pupuslah harapan Sulawesi Tengah mendapatkan medali emas sekaligus pupus pula mimpi terhindar dari juru kunci. Sebab pada hari itu, sesuai analisa saya, dipastikan Sulteng tidak bakal dapat medali lagi apalagi medali emas. Pasalnya, meski masih ada harapan mendapat medali dari cabang dayung yang masuk ke partai final, tapi berdasarkan peta kekuatan tim lain, sangat sulit diperoleh, paling banter medali perunggu.
Lalu, pada malam harinya, melalui jaringaan JPNN (Jawa Pos News Network), saya mengirimkan berita headline ke Redaksi Mercusuar di Palu dengan judul: Sulteng Juru Kunci,
Dan betul, sampai hari terakhir gelaran PON XIII, tidak ada tambahan medali untuk Sulawesi Tengah. Lalu atas berita itu pula, rekan saya Indra Simanjuntak yang merupakan kartunis Harian Mercusuar menorehkan karya karikaturnya dengan gambar Tim PON Sulteng pulang membawa/memikul “KUNCI” besar.
Lantas, satu dua hari berikutnya, KONI Sulteng didemo masyarakat dan menyegel kantornya.
Sementara di sisi lain, Ansar pun menjadi pusat perhatian masyarakat Sulteng karena menjadi penyelamat Tim PON terhindar dari posisi pulang tanpa medali.
Atas prestasi yg jeblok itu, kalangan praktisi olahraga di Sulawesi Tengah, tersadar lalu bangkit membenahi olahraga di daerah itu. Termasuk prestasi Ansar juga menanjak, namun untuk PON berikutnya saya sudah tidak tahu info seiring dengan kepindahan ke Jakarta.
Selamat jalan sobat Ansar Jotman. Masyarakat Sulawesi Tengah akan selalu mengingat dan mengenang nama mu yang pernah membuat legenda. Semoga sobatku mendapat tempat terindah di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa
Bekasim 14 Juli 2020.
(*Mantan Wartawan Olahraga)