Andi Wanua Tangke. (Foto: Ist)

Cerpen: Oleh Andi Wanua Tangke*                              

NURIL, seorang perempuan biasa. Wajahnya tidak cantik, tapi tidak terlalu jelek. Kalau diperhatikan baik-baik, wajarlah disebut tipe perempuan berwajah hitam manis. Karena itu kalau dia ke pasar berbelanja, sejumlah pemuda menggodanya. Tapi Nuril tidak memedulikannya, atau pura-pura tidak memedulikannya. Dalam hatinya senang juga dengan godaan-godaan itu. Baginya, itu pertanda dia memiliki kelebihan sebagai seorang perempuan.

Sudah tiga bulan terakhir ini Nuril sulit dijumpai lagi, baik di jalan-jalan maupun di pasar. Berbagai informasi berkembang yang tidak dijamin kebenarannya. Ada yang mengatakan, Nuril kini menjadi istri kedua seorang pengusaha dan ditempatkan di sebuah rumah khusus yang sulit dilacak keberadaannya. Ada juga menyimpulkan, katanya dia telah melakukan nikah siri dengan seorang pejabat pemerintahan. Agar tidak ketahuan istri pertama sang pejabat, Nuril ditempatkan atau lebih tepatnya disembunyikan di sebuah penginapan murahan di sebuah kota. Tidak sedikit juga yang menyebutkan Nuril tetap ada di rumahnya, tapi dia dipasung di bagian belakang rumahnya oleh keluarganya sendiri. Informasi terakhir ini mengandung riwayat karena ada datanya. Seorang teman Nuril pernah ke rumahnya, tapi oleh ibunya Nuril melarang ke bagian belakang. Alasannya, Nuril tidak ada di rumah. “Nuril pergi ke luar daerah cari kerja,” katanya kepada teman Nuril. Lagi pula, kata si ibu, bagian belakang rumahnya gelap, balon lampunya sudah mati, sejak satu bulan lalu hingga kini belum diganti. Tidak pantas seorang tamu ke bagian belakang rumah dalam kegelapan.  Namun saat teman Nuril hendak meninggalkan rumah itu dengan perasaan kecewa, dia tiba-tiba mendengar suara tangisan menyakitkan dari bagian belakang. Seperti suara yang tertahan karena ada yang membungkam. Seakan leher itu dicekik, sehingga suara yang keluar tidak normal  sebagaimana orang yang berteriak bebas. Dalam kepergiannya meninggalkan rumah itu, teman Nuril ini memastikan kalau suara  itu adalah suara Nuril.

Apa penyebab Nuril harus dipasung? Begini kisahnya. Setelah dia bergabung di organisasi buruh perempuan, Nuril menampakkan kecerdasan dan keberaniannya. Dia juga sudah rajin membaca buku. Buku apa saja, termasuk novel karya Pramoedya Ananta Toer, buku kumpulan cerpen karya Putu Wijaya, dan buku karya Mochtar Lubis berjudul Kuli Kontrak, semua dilahapnya sampai tamat. Kepekaan sosialnya yang tumbuh subur seperti rumput liar di musim hujan itu membuatnya dipercaya oleh teman-temannya sebagai pengurus inti organisasi buruh. Dia pun dikenal sebagai aktivis perempuan yang berani mengkritik tingkah-tingkah penguasa yang otoriter.

Akibat keberaniannya menyuarakan kebenaran dengan mengungkap kebusukan dan kemunafikan sejumlah pejabat dalam rezim itu, akhirnya Nuril menjadi perhatian khusus oleh pihak keamanan yang condong membela penguasa. Tentu pemihakan itu wajar lantaran pihak keamanan wajib tunduk kepada siapa yang lagi berkuasa. Siapa yang beruntung memegang kekuasaan maka kebiasaan itu akan berulang pada mereka. Mungkin itulah disebut hukum alam dalam kekuasaan.

Perhatian khusus atau catatan merah kepada perempuan satu ini oleh penguasa inilah yang dikhawatirkan oleh banyak orang. Penguasa memandang sosok perempuan ini sebagai ancaman yang membahayakan. Lantaran bukan hanya kebijakan dan korupsi yang disuarakan dengan lantang, tapi juga perbuatan-perbuatan asusila yang telah dilakukan sejumlah pejabat. Cerita tentang hilangnya sejumlah aktivis yang berani melawan penguasa secara tiba-tiba tanpa jejak, sudah biasa di negeri antah berantah ini.

Suatu hari, seorang pejabat tinggi diajukan ke pengadilan dalam kasus asusila. Sang pejabat yang terdakwa itu diduga telah melakukan hubungan suami istri dengan seorang perempuan yang diketahui bukan istrinya. Pada awal proses persidangan sulit dibuktikan tuduhan-tuduhan itu, apalagi pengacara sang pejabat membelanya mati-matian kliennya, namun ketika Nuril tampil sebagai saksi, pejabat tinggi itu pun bungkam. Tunduk. Diam. Seakan tidak mau melihat wajah Nuril yang hitam manis itu. Saksi Nuril tidak hanya bercerita akan keterlibatan sang pejabat, tapi justeru memperdengarkan rekaman suara sang pejabat ketika bercinta dengan selingkuhannya. Kesaksian inilah yang menghebohkan pengunjung sidang. Teriakan-teriakan “huiii…huiii…huiii…” dari pengunjung sidang menciptakan kegaduhan dalam persidangan. Pak Hakim pun memperingatkan pengunjung. “Bila saudara-saudara terus membuat gaduh, maka persidangan ini saya hentikan, atau saya memerintahkan pihak keamanan kantor pengadilan untuk memaksa saudara keluar dari ruangan ini.” Suara tegas Pak Hakim Ketua yang bercambang tebal dengan sorotan mata yang tajam seperti mata burung elang itu kepada pengunjung membuat suasana kembali menjadi hening.

Sang pejabat tinggi akhirnya divonis bebas oleh hakim lantaran dinilai dakwaan kepadanya lemah alias tak dapat dibuktikan. Tentang kesaksian kunci Nuril yang memperdengarkan suara sang pejabat ketika sedang bercinta, dianggap hanya rekayasa untuk menjatuhkan pejabat yang disebut-sebut bisa mengatur kebijakan dalam rezim yang berkuasa itu.

Sang pejabat merasa nama baiknya dicemarkan dan telah mencederai sebuah rezim, maka melalui pengacaranya yang selalu memakai dasi kupu-kupu itu, dia pun melaporkan balik Nuril ke pihak kepolisian. Polisi sebagai bagian kekuasaan, begitu menerima laporan pencemaran nama baik seorang pejabat yang sangat disegani itu, secepat kilat memprosesnya dan hanya beberapa jam setelah Nuril diperiksa oleh menyidik, perempuan yang berambut panjang itu dinyatakan tersangka. Berkasnya pun dilimpahkan ke kejaksaan, lalu pihak pengadilan segera menyindangkan perkara ini. Semuanya lancar tanpa rintangan sedikit pun, demi menghukum perempuan yang tak pernah gentar ini.

“Apa betul Anda bernama Nuril?” tanya Pak Hakim.

“Betul, Pak Hakim,” jawab Nuril singkat.

“Baik. Apakah Anda tahu kalau Anda diajukan ke pengadilan dalam kasus pencemaran nama baik?”

“Menurut polisi, begitu, Pak Hakim.”

“Maksudnya?”

“Pak Polisi menuduh saya telah melakukan pencemaran nama baik kepada seorang pejabat. Sementara saya tidak melakukannya. Apakah pencemaran nama baik namanya kalau apa yang saya sampaikan itu adalah kebenaran yang dapat dibuktikan, Pak Hakim?”

“Jadi Anda tetap menganggap rekaman suara yang Anda perdengarkan dalam kesaksian Anda pada saat pejabat itu disidang adalah benar?”

“Iya, saya bukan pembohong, Pak Hakim,” ujar Nuril dengan nada suara tegas sambil menatap tajam mata Pak Hakim.

“Bagaimana cara Anda membuktikan kalau rekaman itu benar?”

“Gampang. Tapi ada permintaam saya, Pak Hakim.”

“Silakan sampaikan permintaan Anda.”

“Saya akan menyampaikan pembuktian kebenaran rekaman suara itu bila Pak Hakim menghadirkan sang pejabat yang telah melakukan asusila itu di persidangan ini.”

Mendengar pernintaan terdakwa Nuril, Pak Hakim Ketua dan dua anggota lainnya berembuk. Saling mendekat, pembicaraan ketiganya hanya mereka yang mendengarnya. Terdakwa Nuril dan pengunjung sidang hanya berbicara dalam benak, ada simpulan, tapi tak ada suara terdengar.

“Permintaan Anda untuk menghadirkan sang pejabat, kami para hakim telah mempertimbangkannya. Ada yang setuju dan ada juga tidak setuju. Namun karena lebih banyak yang tidak setuju, maka permintaan Anda itu tidak dapat dikabulkan.”

“Dari awal saya sudah duga kalau Pak Hakim tidak berani menghadirkan pejabat tinggi itu. Takut kan?” Nuril tersenyum simpul lalu balik memandang pengunjung.

“Anda sebagai terdakwa jangan sembarang omong. Ini adalah persidangan. Menuduh para hakim takut itu adalah pelecehan profesi hakim. Anda dan pengunjung harus tahu bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai pencari keadilan hanya takut kepada Tuhan, ya hanya kepada Tuhan, selain kepada Tuhan, tidak! Paham ya?”  Ketiga hakim ini merasa tersinggung dituduh takut kepada sang pejabat oleh Nuril.

“Paham, sangat paham, Pak Hakim,” ucap Nuril lalu tunduk.

“Persidangan ini kita tunda hari Selasa depan, sekalian vonis dibacakan.” Ketiga hakim itu balik meninggalkan meja hijaunya.

Sejak menjalani hukuman penjara, Nuril terus berteriak-teriak di kamar selnya. Disebut gila, tidak tepat karena teriakan-teriakannya yang membuat bising penjara itu tentang kebusukan dan kemunafikan penguasa. Terutama yang dia kutuk adalah sang pejabat tinggi yang menurutnya telah melakukan praktik kotor, namun pihak pengadilan membebaskannya dengan alasan tidak terbukti tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. “Apanya tidak terbukti? Semua rahasia kebejatan pejabat itu ada sama saya. Apakah Pak Hakim tidak memerhatikan ketika saya hadir sebagai saksi, dia memilih bungkam, tunduk, diam? Apa artinya semua itu, Pak Hakim? Apa? Coba analisa.” Semua itu diungkap Nuril dengan suara seorang demonstran. Seakan dia lagi di jalan-jalan atau di depan istana.

Kepala penjara mulai bingung melihat perkembangam tahanan baru ini. Sudah dibujuk, bahkan diancam, namun perangainya itu bukannya berubah diam, malah makin menjadi-jadi. “Bisa-bisa memengaruhi tahanan lainnya untuk melakukan teriakan-teriakan protes kepada penguasa,” pikir Kepala Penjara.

Hal yang paling dikhawatirkan Kepala Penjara karena minggu depan presiden akan mengunjungi penjara ini. Penjara ini dinilai aman dan sukses membina para narapidana, sehingga tak pernah terdengar ada keributan. Beda dengan penjara-penjara lainnya selalu ada keributan lantaran para tahanan memprotes Kepala Penjara yang mengorupsi dana makanan dan dana pembinaan. “Aduh, bagamana ini. Kalau Bapak Prsiden datang mengunjungi penjara ini lalu mendatangi satu persatu sel, dan dia temukan sel yang ditempati Nuril, apa yang terjadi? Tak ada jalan lain, kita harus pindahkan Nuril dari selnya. Tapi ke mana?” Kepala Penjara membicarakan kecemasan ini kepada wakil dan sejumlah stafnya.

“Begini saja, Pak Kepala, biar aman, kita bersiasat seakan-akan Nuril itu sudah terkena penyakit gila. Alasan ini tepat karena Nuril sejak masuk penjara, tak pernah mau berhenti berteriak. Lalu kita bebaskan sementara dengan cara mengembalikan ke rumahnya. Kita sampaikan ke keluarganya bahwa sejak Nuril gila, keadaannya tidak aman di penjara,” usul Wakil Kepala Penjara.

“Kalau dia tinggalkan rumahnya, lalu dia turun ke jalan meneriakkan apa yang biasa diteriakkan di penjara, bisa tambah gawat, Pak Wakil,” jawab Kepala Penjara.

“Tidak, Pak Kepala, kita sampaikan dan yakinkan kepada keluarganya bahwa Nuril harus dipasung.”

“Dipasung? Artinya sama dengan dibungkam. Oh, usul yang cemerlang.” Kepala Penjara tertawa cerah mendengar usul pemasungan itu lalu menjabat erat tangan wakilnya. (*)

(Alumni Fakultas Sastra Unhas. Mantan wartawan harian Fajar ini kini banyak menulis karya sastra berupa cerpen. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul Panra’ka. Buku best sellernya berjudul Misteri Kahar Muzakkar Masih Hidup. Dapat dihubungi: 081343888172.)

Ayo tulis komentar cerdas