Oleh: Dr. Mahpuddin, M.Si
JIKA direnungkan lebih dalam, puasa hakekatnya merupakan “pathos of distance”. Suatu ideologi pengambilan jarak dengan keduniawian serta segala isinya, yang diinstrumentalisasi melalui aksi “mogok” makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa memiliki struktur pesan yang sarat dengan misi perlawanan kuat terhadap segala bentuk pemikiran atau ideologi “pelampiasan nafsu”. Secara radikal, puasa mengkondisikan alam pikir dan mentalitas pelakunya pada suatu sikap negasi terhadap hasrat liar sekaligus menawarkan orientasi pembebasan guna mencapai kemerdekaan diri sejati.
Di tengah arus jaman determinatif yang menekankan pada pentingnya perubahan struktural kondisi umat manusia, ajaran puasa justru bertitik tolak dari visi perubahan personal-revolusioner. Meskipun antara struktur dan agensi (personal) diandaikan saling pengaruh secara timbal balik, namun sejatinya perubahan itu mesti bermula dari level agensi. Di sini ajaran puasa memberi tekanan prioritas pada perubahan personal mendahului agenda perubahan pada skala sosial-kolektif.
Ilmuan sosial, Daniel Bell menulis gagasan provokatif yang hendak menyudahi seluruh narasi besar yang dibangun dalam kerangka modernitas dengan jargon, “the end of ideology”. Kemunculan jargon tersebut bukan tanpa dasar empirisnya. Narasi-narasi besar yang mewujud dalam bentuk isme-isme seperti; materialisme, liberalisme dan sekularisme telah terbukti gagal mengantar manusia modern ke tingkat peradaban yang lebih bermartabat.
Meskipun dinilai gagal, namun pada kenyataannya ideologi-ideologi klasik tersebut masih kokoh bertahan mengadaptasi diri secara kreatif di bawah rezim ekonomi global bernama kapitalisme. Daniel Bell menyadari sepenuhnya bahwa kapitalisme terlalu kuat untuk diruntuhkan oleh kekuatan apapun karena eksistensinya yang sedemikian total sehingga sulit dikenali sebagai sebuah ideologi. Suka atau pun tidak, kapitalisme telah menstrukturkan keseluruhan sistem kelembagaan modern yang secara subtil menjadi bagian dari tatanan kesadaran universal umat manusia di era globalisasi dewasa ini.
Pada dasarnya, puasa menyediakan konteks ruang reflektif bagi kaum muslimin guna melakukan distansiasi atau pengambilan jarak kritis terhadap totalisasi kapitalisme atas berbagai bidang kehidupan. Bukankah puasa menawarkan jalan kesederhanaan hidup yang bermakna penolakan segala bentuk pemikiran yang menawarkan ideologi pelampiasan hasrat (nafsu)? Secara ideologis, ajaran puasa beroposisi biner dengan kapitalisme.
Melalui laku dan penghayatan atas puasa, setiap muslim dididik untuk memiliki kepekaan dan kemampuan membedakan antara kebutuhan sejati & sekedar dorongan nafsu. Misi perlawanannya bukan pada aksi “tidak boleh makan”—karena anak kecil pun bisa melakukannya, tetapi pada pengendalian atas dorongan “nafsu makan”. Horizon pemaknaannya dapat diperluas pada konteks nafsu-nafsu yang lebih luas seperti nafsu; kekuasaan struktural, peluang ekonomi, otoritas dalam hal perumusan pasal-pasal hukum–sebagai elemen utama dalam proses pengendalian sejarah.
Puasa semestinya dijadikan pilar kekuatan oposan bagi kapitalisme, sehingga pada saatnya nanti diharapkan membentuk lembaga sejarah yang kuat. Pada tahun 1992, Samuel P. Huntington meramalkan kondisi masa depan dunia pasca runtuhnya Uni Soviet dengan slogan “The Clash of Civilization”. Menurutnya, di masa depan akan berlangsung benturan yang tidak terelakkan antara Islam & Barat, bukan terutama pada level politik global, tetapi pada level ideologi, kultural dan sivilisasi. Dalam kaitan ini, inti ajaran puasa dimungkinkan sebagai salah satu kekuatan ideologi penggerak sejarah versus kapitalisme.
Rupanya ramalan tersebut tidak terbukti. Sebaliknya, yang terjadi adalah berlangsungnya kompromi dan kontaminasi antara peradaban Islam dan Barat kapitalistik. J. Derrida, filsuf Prancis kontemporer, menegaskan bahwa di era postmodern kini ditandai oleh tendensi paradoks dan ambiguitas dimana telah terjadi keruntuhan batas-batas pemisah antar norma-norma kehidupan. Segalanya saling membaur, melebur di antara kekuatan oposisi biner. Demikianlah yang terjadi antara antara Islam dan Barat. Fenomena maraknya iklan media massa (terutama TV) selama ramadhan, begitu agresif “memaksa” pemirsa menghubungkan puasa dengan berbagai produk konsumtif. Tidak bermaksud hendak menegasikan usaha para pelaku bisnis perdagangan, tetapi patut direnugkan bahwa iklan dan pusat-pusat perbelanjaan seperti mall adalah kendaraan massal yang mengantar jutaan orang dari terminal kebutuhan sejati ke terminal pemuasan hasrat konsumtif.
Pada setiap menjelang akhir ramadhan, muncul gejala mobilisasi massa, dari kegiatan ibadah di mesjid berpindah ke mall. Entah dari mana jumlah massa yg begitu besar membanjiri pusat perbelanjaan, sementara mesjid-mesjid secara perlahan menjadi kosong pengunjung. Idul fitri yang berarti “kembali ke keadaan diri primordial”, justru diwarnai drama penyelubungan diri di balik tumpukan benda-benda artifisial.
Entah ide apa yang muncul di kepala para tokoh agama yang terhimpun dalam organisasi sosial keagamaan seperti; MUI, NU dan Muhammadiyah ketika menyaksikan pemandangan tahunan ini. Organisasi-organisasi tempat berkiprahnya orang-orang hebat yang memiliki pemahaman dan sumber daya memadai dalam merumuskan strategi rekayasa budaya & pengendalian arah perjalanan sejarah. Bukankah kenyataan tersebut menandai kekalahan struktural di tengah hingar-bingar perayaan kemenangan personal di hari Idul Fitri ?
*Penulis adalah pengajar Filsafat Fisip Untad