Moh. Ahlis Djirimu. (Foto: Ist)

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu

INFLASI merupakan kecenderungan peningkatan harga-harga umum. Pada sisi teoretis,  ecara relatif, inflasi dapat disebabkan oleh dua sisi mata uang berbeda. Dari sisi penyebabnya, pada sisi pengeluaran merupakan inflasi yang muncul karena tarikan permintaan (cosh-push inflation). Contoh fenomena riil inflasi ini misalnya menjelang ramadhan, Hari Raya keagamaan, akhir tahun, harga sembilan bahan pokok (sembako) cenderung naik. Sembako merupakan indikator kebutuhan dasar penduduk Indonesia termasuk substitusinya. Sembako terdiri dari beras, terigu, gula pasir, minyak goreng curah, minyak tanah yang telah dikonversi menjadi gas liquified petro gaz (LPG) 3 kg, ikan kering, bumbu-bumbuan, sayur mayur, susu.

Pada sisi produksi, inflasi disebabkan oleh dorongan biaya produksi atau cosh-push inflation. Bila transportasi darat baik melalui wilayah pantai barat Sulawesi Tengah terganggu sebagai akibat dari putusnya jalur transportasi akibat banjir, maka pasokan kebutuhan pokok juga akan terganggu, karena waktu tempuh menjadi lama. Gagal panen cabai merah maupun cabe keriting dapat menyebabkan pasokan berkurang yang selanjutnya harga keduanya cenderung meningkat. Bila terjadi kecenderungan penurunan harga-harga umum, yang terjadi adalah lawannya inflasi yakni deflasi. Pada sisi moneter, inflasi dapat juga disebabkan oleh pasokan uang lebih dominan ketimbang barang kebutuhan masyarakat. Akibatnya, nilai riil uang tergerus, daya beli uang melemah bila dikonversi terhadap barang. Fenomena inilah yang disebut dalam ilmu ekonomi sebagai Purchasing Power Parity (PPP) atau teori kesamaan daya beli yang pertama kali diperkenalkan Jacob Viner, ekonom Swedia.

Di Sulteng, perhitungan inflasi dilakukan pada dua kota yakni Kota Palu dan Kota Luwuk. Kedua kota diasumsikan merepresentasikan harga-harga umum. Pada periode Januari-Maret 2020, di Sulteng terjadi sekali inflasi dan dua kali deflasi bulanan. Pada Januari 2020, perekonomian Sulteng dibuka dengan fenomena deflasi mencapai -0,17 persen. Hal ini disebabkan turunnya indeks harga sektor transportasi yang menunjukkan secara relatif minimnya penggunaan sarana dan prasarana transportasi di awal tahun. Hal ini ini merupakan fenomena unik karena sejarah menunjukkan bahwa awal tahun umumnya dibuka dengan kecenderungan inflasi sebagai dampak bawaan dari kenaikan harga-harga umum pada Desember. Pada Desember 2019, inflasi di Sulteng mencapai 0,83 persen yang disebabkan oleh transportasi, umumnya transportasi udara yang umumnya di Indonesia didorong oleh kecenderungan menghabiskan anggaran di akhir tahun.

Di samping itu, pada setiap Desember, para ekspatriat yang bekerja di Indonesia memanfaatkan libur akhir tahun kembali ke negaranya baik untuk merayakan Natal maupun Tahun baru. Hal ini menimbulkan permintaan atas mata uang rujukan dunia seperti Dolar, Euro, Yuan, Pound meningkat, lalu harga mata uang rujukan tersebut meningkat pula atau mengalami apresiasi. Apresiasi mata uang rujukan tersebut menimbulkan kecenderungan mahalnya harga-harga para ekspatriat lalu, harga-harga umum tersebut membuat mahal pula harga-harga umum di Indonesia. Inilah yag disebut inflasi impor dan dampak yang ditimbulkannya disebut efek Fisher, sebagai penghormatan ahli moneter klasik pencetus teori kuantitas uang Irving Fisher.

Sebaliknya Februari 2020, terjadi inflasi mencapai 0,45 persen yang disebabkan oleh kenaikan komponen makanan, minuman dan tembakau mencapai 0,42 persen dan penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 0,03. Sedangkan pada Maret 2020, walaupun terjadi deflasi sebesar -0,40 persen, namun komponen makanan, minuman dan tembakau masih menjadi penyumbang inflasi. Dalam komponen makanan, minuman dan tembakau terdapat sub komponen daging ayam ras sebesar 0,11 persen, gula pasir 0,02 persen, serta ikan ekor kuning, ikan katamba, sayur bunga pepaya, nasi dan lauk, pisang masing-masing sebesar 0,01 persen. Sebaliknya, komponen emas/perhiasan menyumbang inflasi sebesar 0,04 persen.  

 Secara umum, komponen makanan menyumbang rata-rata 77 persen angka inflasi di Sulteng. Hal ini menjadi masalah abadi tanpa usaha solusi dari instansi terkait. Dari sisi produksi, sub komponen beras dan ikan sering menjadi penyebabnya. Beras menjadi penyebab karena kalender tanam (Katam) di Sulteng tidak seragam di semua kabupaten. Akibatnya, ketika musim panen tiba, jadwal musim panen padi tidak seragam pada semua daerah. Konsekuensinya, stok beras baik di lumbung padi masyarakat maupun di gudang Bulog tidak pasti (uncertainty). Ketidakpastian ini menyebabkan fluktuasi harga. Selain itu, adanya sikap mental petani rasional yang menjual berasnya keluar daerah terutama beras Kamba asal Desa Sodaunta di dataran tinggi Kabupaten Sigi yang penyemaiannya cukup lama hingga enam bulan. Agresivitas pembeli asal daerah lain di Sulawesi bertemu rasionalitas petani menjadi jalinan mata rantai pasokan beras yang erat bagaikan sistem kapitalis vertikal.

Demikian pula ikan sering menjadi penyumbang inflasi di Sulteng. Nelayan rasional menjual hasil lautnya ke daerah tetangga di Pulau Kalimantan, Provinsi Sulsel, bahkan DKI Jaya sehingga membuat langka pasokan ikan laut di Sulteng.

Solusi dari fenomena inflasi versus deflasi di Sulteng adalah pertama, adanya validitas  data aktual pangan terutama beras, oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait baik di Provinsi Sulteng maupun di kabupaten/kota. Lalu OPD ini saling sinergi menciptakan Sulteng Incorporated Tanaman Pangan dan Perikanan merumuskan kebijakan bersama di bidang pangan. Kedua, adanya kebijakan Pemerintah Provinsi Sulteng melarang penjualan hasil laut ke daerah lain sebelum memenuhi pasokan dalam Provinsi Sulteng. Ketiga, mengoptimalkan peran Tempat Pendaratan Ikan (TPI), Pusat Pendaratan Ikan (PPI) di Sulteng, serta mereaktivasi TPI Labuan Kabupaten Tojo Una-Una dan TPI Bungku Kabupaten Morowali yang selama ini belum digunakan melalui sinergi dengan dunia perbankan seperti menempatkan kegiatan perbankan di TPI/PPI, serta mengintegrasikan petani dan nelayan tradisional dalam sistem transaksi maupun mekanisme pembayaran digital seperti penggunaan media Indonesia Unicorn Pasar Laut, Tani Hub, Lima Kilo dan/atau mendorong munculnya kegiatan star-ups oleh generasi milenial pada sub sektor pertanian dan perikanan yang difasilitasi oleh Dinas Perindag dan Dinas Perikanan. Keempat, internalisasi uang elektronik maupun sistem pembayaran melalui media Quick Response Indonesia Standard (QRIS) tanpa takut terkena penularan COVID-19 melalui uang kertas maupun uang logam.**

Ayo tulis komentar cerdas