OLEH: Shofia Nurun Alanur S, S.Pd.,M.Pd*
BULAN Sya’ban kini tiba. Artinya, sebulan lagi kita akan berjumpa dengan Bulan Ramadan untuk melaksanakan ibadah puasa sebagai kewajiban seluruh umat Islam di dunia. Biasanya, kita sudah bisa merasakan euforia Ramadan. Bahkan ada yang sudah tidak sabar untuk segera menjalankan puasa, ramai-ramai sholat tarawih dan sahur bersama. Iklan di televisi-pun sudah menunjukkan suasana Ramadan.
Sejak World Health Organization (WHO) pada 12 Maret mengumumkan adanya Pandemi Virus Covid-19, seantero jagat raya ketakutan. Bagaimana tidak, Pandemi yang bermula dari Wuhan, Tiongkok ini, menyebar sangat cepat dan meluas. Korban tidak hanya sakit, bahkan sampai meninggal dunia. Pandemi ini ditandai dengan sesak nafas, tenggorokan gatal, batuk, dan demam menyerang saluran pernafasan. Pandemi menular hingga ke berbagai negara antara lain, Italia, Iran, Singapura, Malaysia, dan Indonesia, negeri kita tercinta.
Sebelum Pandemi akhirnya masuk ke Indonesia, sebagian pihak pemerintah meyakinkan bahwa Indonesia bebas dari Virus Corona. Beberapa hari setelah kalimat itu dilontarkan, Presdien RI mengumumkan secara resmi bahwa dua orang Warga Negara Indonesia Positif Virus Covid-19 di Depok, Jawa Barat. Menyusul DKI Jakarta.
Pernyataan pemerintah jelas mengagetkan masyarakat. Meskipun pemerintah berusaha untuk menenangkan “jangan panik”, masyarakat tetap terguncang. Beberapa hari kemudian, pemerintah pusat mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya wilayah terjangkit, untuk melakukan Social Distancing. Mewujudkan Social Distancing dilakukan dengan bekerja dari rumah atau Work From Home. Gerakan ini untuk mengurangi penyebaran Covid-19 melalui manusia ke manusia. Bukan hanya itu, masyarakat diperingatkan untuk menghindari keramaian, seperti tempat nongkrong maupun tempat acara yang melibatkan banyak orang.
Berganti-gantian instansi negara mengumumkan untuk meliburkan tatap muka pada perkuliahan, sekolah, hingga kantor. Bahkan Presiden bersama jajaran menerapkan hal tersebut. Diliburkannya sekolah dan pekerjaan kantor diganti dengan komunikasi digital atau online (daring). Selain itu, pemerintah juga berharap masyarakat mulai menunjukkan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain dengan rajin mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer dan masker jika bepergian.
Namun, baru-baru ini, dengan jumlah masyarakat terpapar Covid-19 yang meningkat, bahkan menteri dan kepala daerah telah positif Covid-19 dan dokter yang menangani pasien pun telah meninggal dunia. Atas dasar itu, oleh WHO semakin menegaskan untuk menerapkan bukan lagi Social Distancing, melainkan juga Physical Distancing. Budaya masyarakat Indonesia yaitu bersalaman/berjabat tangan ketika bertemu, diharapkan untuk dihindari/tidak dilakukan. Pokoknya, apapun yang berkaitan dengan sentuhan fisik, harus dihindari. Disisi lain, secara tangkas Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa tentang penyelenggaraan ibadah di tengah wabah Covid-19. Bahwa setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, sebab hal ini merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama. Sedangkan orang yang telah terpapar virus, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak tertular kepada orang lain. Bagi orang yang terpapar, Shalat Jumat di masjid dapat diganti dengan Sholat Zuhur.
Tak hanya merasa gamang, Pandemi ini juga menggerogoti segi kehidupan warga negara dunia, khususnya Indonesia. Salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi. Nilai Rupiah Indonesia kali ini hampir mendekati angka seperti pada krisis moneter 1998 silam.
Di tengah kegelebahan ini, sangat disayangkan banyak oknum yang memanfaatkan kesempatan. Di atas kecemasan dan ketakutan serta derita orang lain, sebagian masyarakat Indonesia berusaha mengambil untung. Pembelian masker, hand sanitizer dengan harga yang berkali-kali lipat naiknya. Belum lagi, beredar video pembuatan masker dari masker bekas. Tumpukan masker diinjak-injak. Begitu pula dengan pencuci tangan atau hand sanitizer, dibuat dengan bahan yang tidak terjamin khasiat dan kesehatannya. Sangat disayangkan pula, masih bebasnya warga negara asing yang keluar masuk negara Indonesia. selain itu, masyarakat Indonesia pun tidak mengindahkan imbauan pemerintah. Masih banyak masyarakat yang berkeliaran di tempat jalan-jalan atau nongkrong.
Seperti dalam sebuah hadist menyatakan, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari). Disamping itu, Nabi Muhammad pernah berdoa kepada Allah SWT ketika ketiga temannya terjangkit penyakit, “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Berkahilah mud dan sha-nya (barang-barang yang ditimbang dengan mud dan sha. Satu mud sama dengan dua rithal bagi penduduk Irak. Dan sepertiga rithal bagi penduduk Hijaz. Sedangkan satu sha sama dengan empat mud bagi penduduk hijaz), serta pindahkanlah wabah yang menimpanya ke Mahya’ah, yaitu Juhfah yang merupakan miqat penduduk Syam.”
Kejadian yang menimpa bangsa dan negara sangat memprihatinkan. Boleh jadi ini adalah sebuah ujian. Boleh jadi ini juga teguran dari Sang Maha Pencipta. Jika kita dapat merenungi, apa sebenarnya yang terjadi, kemungkinan besar kita akan mendapatkan jawabannya. Pertama, setiap kita mungkin saja kurang menerapkan perilaku hidup sehat dalam keseharian. Kedua, pribadi manusia yang terlalu takabbur dalam hidupnya. Ketiga, sifat manusia yang terlalu serakah. Keempat, larut dalam hedonisme, tidak betah tinggal di rumah, suka pamer dan malu jika tidak kaya. Kelima, peringatan betapa pentingnya waktu luang untuk keluarga dan untuk pahala Akhirat.
Sepatutnya, kita manusia merenungi kembali apa yang terjadi dibalik Pandemi yang menimpa NKRI. Seperti bait lagu dari Ebiet G.Ade “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu merasa bangga dengan dosa-dosa”. Mungkin negeri ini masih terlalu banyak penyimpangan dan huru hara yang tidak bermuara pada kebaikan. Pun juga masyarakat masih tenggelam dalam gaya hidup yang hedonis. Dengan diterapkannya jaga jarak dan jaga fisik, kita dapat memahami betapa pentingnya menjaga diri, lahir maupun batin, dari sisi kesehatan maupun keagamaan. Jaga jarak dan fisik juga meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian dalam diri.
Hikmah paling utama dari bencana ini adalah bagaimana merekatkan kembali rasa persatuan dan kesatuan serta rasa kemanusiaan. Tidak lagi memikirkan diri sendiri, tetapi kemashlahatan banyak orang. Kita harus mampu memimpin diri sendiri untuk kebaikan nasional. Seperti karakter kepemimpinan Astha Dasa Kotamaning dalam Buku Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa karangan Prof.Dr.M.Furqon Hidayatullah, bahwa ada 18 karakter kepemimpinan salah satunya Ambeg Parama Arta. Artinya, seorang pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepemimpinan umum. Contohnya, sebagai warga negara yang baik (good citizen) dengan mematuhi instruksi pemerintah untuk tetap tinggal di rumah dan tidak ke mana-mana. Selain itu, tidak mencari untung di tengah musibah melainkan membantu satu sama lain. Misalnya membagi bagikan masker dan hand sanitizer serta bantuan yang bermanfaat lainnya.
Masyarakat Indonesia seharusnya mengingat kembali bahwa mereka disatukan atas kesamaan nasib, sehingga mereka dapat disebut bangsa. Kesatuan jiwa dan tekad adalah kunci bagaimana Pandemi Covid-19 ini segera berlalu. Sebagaimana kata Amir Machmud bahwa tanpa terbentuknya kesatuan jiwa bangsa, tanpa terbentuknya karakter nasional, yang akan menjelma pada identitas, budaya, kehormatan, kebanggaan, serta kesetiaan nasional maka suatu negara tidak akan hidup terus. Pun Juga Soekarno pernah mengatakan bahwa Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.
Pandemi ini juga terjadi di tengah peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. Isra Miraj terjadi pada tahun kesedihan saat Rasulullah dilanda banyak cobaan dan ditinggal oleh orang terdekatnya. Sehingga Isra Miraj merupakan bentuk penghiburan Allah kepada Nabi Muhammad. Untuk menghibur Nabi Muhammad, Allah mengutus Malaikat Jibril membawa Nabi Muhammad melakukan perjalanan dari Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina dan diangkat ke Sidratul Muntaha dalam satu malam saja.
Melalui peristiwa ini, Nabi Muhammad mengajarkan kalau sudah merasa berada di puncak kesedihan, kegelisahan, dan keresahan, kembalilah kepada Allah. Kembali kepada Allah dengan cara mengakui bahwa kita lemah sedangkan Allah hebat dan Maha Kuasa. Sebab Allah menyukai manusia yang mau mengakui kerendahan di hadapan Allah. Sebagaimana doa yang diajarkan kepada Nabi Adam yang berbunyi “Robbanaa dzholamnaa anfusanaa wa illam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khosiriin”. Artinya, ya Allah, kami telah mendholimi pada diri kami sendiri, jika tidak engkau ampuni kami dan merahmati kami, tentulah kami menjadi orang yang rugi. Perlu direnungkan di tengah Pandemi Covid-19 saat ini. SALAM.
*Dosen Prodi PPKn FKIP Universitas Tadulako