- Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*
PADA 2 Maret 2020 lalu, saya memperoleh email satu artikel ilmiah berjudul The Global Macroeconomic Impacts of Covid-19: Seven Scenarios” yang ditulis oleh Warwick Mc Kibbin dan Rosen Fernando.Keduanya berasal dari Universitas Nasional Australia (ANU), the Brookings Institution dan Pusat Penelitian Utama Penuaan Penduduk (CEPAR). Kedua penulis merumuskan tujuh skenario mengukur dampak ekonomi global COVID-19. Mereka menggunakan G-Cubed Multicountry Model atau model epidemiologi dalam perhitungan ekonomi. Ketujuh skenario tersebut dibangun atas dasar pendekatan historis kejadian pamdemi beberapa negara dan beberapa tahun lalu dengan menggunakan metode ekonomi yang terlalu tehnis bila dijelaskan dalam artikel ini.
Temuan pertama, COVID-19 berpengaruh besar pada pasar kerja karena adanya tingkat mortalitas dan morbiditas penduduk potensial dan berdaya saing. Bagi Tiongkok sebagai episentrum COVID-19, dampak bagi penyediaan lapangan kerja mencapai rata-rata penurunan sebesar 15,86 persen. Lalu dampak sebar (contagion effect) COVID-19 rata-rata berbagi tergantung masing-masing 7 skenario negara yakni 3 kategori tinggi dan tiga kategori rendah, serta 1 kategori moderat. Analisis tersebut menggunakan Indeks Kerentanan yang menggunakan tiga komponen yakni Angka Mortalitas karena infeksi, Angka Morbiditas karena infeksi, serta peningkatan morbiditas karena dampak kejangkitan pada anggota keluarga. Dampak negatif penyebaran COVID-19 pada negara lain di luar kesehatan melalui transmisi pergerakan manusia melaluitransportasi darat, udara, laut, dan perdagangan. Fenomena ini mengingatkan kita pada sejarah masa lalu saat pandemi “Maut Hitam” atau black death melanda Eropa dimulai dari Oktober 1347 setelah 12 kapal dagang Genoa berlabuh di Pelabuhan Messina, Kepulauan Sisilia menyebarkan penyakit pes yang berakibatnya hilangnya nyawa sepertiga penduduk Sisilia.
Kedua, adanya peningkatan biaya berbisnis pada semua sektor ekonomi yang mendisrupsi jaringan produksi pada semua negara. Amerika Serikat sebagai benchmarkingkekuatan ekonomi terbesar di Dunia. Ekuitas risiko premium diukur merujuk pada komponen tingkat mortalitas penduduk dan Indeks Risiko Negara (IRN). Komponen IRN meliputi Indeks Risiko Tata Kelola (IRTK), Indeks Risiko Keuangan (IRK) dan Indeks Risiko Kebijakan Kesehatan (IRKK). IRN terdiri dari sub komponen politik, ekonomi dan keuangan. Variabel politik terdiri dari stabilitas pemerintahan seperti prevalensi konflik, korupsi dan penegakan hukum. Sub komponen Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita, laju pertumbuhan PDB riil, dan tingkat inflasi menjadi variabel ekonomi. Sedangkan komponen keuangan berisi neraca stabilitas kurs dan likuiditas internasional antar negara. Hasilnya menunjukkanbahwa, India, Tiongkok, Indonesia dan Negara-Negara Penghasil Migas lainnya, serta the rest of the countries mempunyai gejolak risiko di atas 2 ketimbang negara lain yang berada di bawah 2 seperti Australia, Brazil, Jerman, Prancis, Inggris.
Ketiga, dampak pada biaya produksi khususnya pada input sektor perdagangan, angkutan darat, laut dan udara sangat besar. Tingkat keterisian kursi angkutan udara turun sampai dengan 70 persen walaupun diikuti aksi banting harga maskapai domestik maupun internasional.
Keempat, dampak pada pola konsumsi. Turunnya pola konsumsi kebutuhan dasar yang bergeser ke pola konsumsi kesehatan sebagai konsekuensi perubahan pendapatan dan harga yang tergerus oleh perilaku “ambil untung” di tengah-tengah penderitaan penduduk lain terdampak COVID-19. Selain itu, dampak COVID-19 melalui transmisi pendapatan dan kekayaan. Pola perilaku masyarakat mengarahkan pendapatannya pada tabungan di masa datang sebagai cadangan bagi antisipasi kesehatan. Pengalaman Amerika menunjukkan bahwa pada masa pandemi H5N1, pola konsumsi masyarakat Amerika dalam perekonomian terdampak 3 persen menurut skenario dalam model G-Cubed. Gejolak ekonomi pada masing-masing negara dan masing-masing sektor seperti energi, pertambangan, pertanian, industri manufaktur barang tahan lama, industri manfufaktur barang tidak tahan lama, serta sektor jasa. Pada sektor energi, dampak terbesar terjadi pada Rusia mencapai 54 persen, sektor pertambangan pada Tiongkok mencapai 50 persen, sektor pertanian pada Amerika Serikat dan sisa dunia, sektor industri manufaktur tahan lama pada Tiongkok dan Amerika Serikat mencapai masing-masing 50 persen, sektor industri manufaktur tidak tahan lama pada Amerika Serikat 51 persen diikuti Tiongkok 50 persen, serta pada sektor jasa-jasa, dampak terbesar pada Amerika Serikat sebesar 53 persen diikuti Tiongkok sebesar 50 persen.
Kelima, gejolak pada permintaan konsumsi. Dari empat skenario, pada skenario pertama, penurunan permintaan konsumsi terbesar terjadi di Amerika Serikat sebesar 1,06 kali lipat diikuti oleh Jepang sebesar 1,01 kali lipat. Pada skenario 2, penurunan permintaan konsumsi terbesar pada Amerika Serikat mencapai 2,66 kali lipat diikuti Tiongkok 2,5 kali lipat. Pada Skenario ketiga, penurunan permintaan konsumsi terbesar terjadi di Amerika Serikat sebesar 4,76 kali lipat, diikuti oleh Jepang sebesar 4,52 kali lipat dan Tiongkok sebesar 4,50 kali lipat. Pada skenario terakhir sama dengan skenario ketiga.
Keenam, dampak pada pengeluaran pemerintah. Pengalaman empiris menunjukkan, bahwa selama masa pamdemi baik SARS, MERS, H5N1 terjadi peningkatan anggaran kesehatan terutama pemeriksaan di bandara dan pelabuhan laut serta adanya peningkatan investasi infrastruktur kesehatan untuk mencegah penyebaran pamdemi. Skenario 4 menunjukkan bahwa pamdemi menimbulkan gejolak peningkatan belanja pemerintah sebesar 59 persen pada sisa dunia,54 persen pada negara-negara penghasil minyak lainnya, 52 persen di India, 50 persen di Tiongkok serta 47 persen di Indonesia.
Ketujuh, kenaikan risiko premium semua korporasi yang bergerak pada semua sektor ekonomi sebagai konsekuesi meledaknya pandemi. Adanya korporasi swasta, BUMN, BUMD yang mengharus karyawannya Work From Home (WFH), bekerja paruh waktu, pergantian shift berkonsekuensi pada pengurangan gaji karyawan yang ditakutkan akan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) bila korporasi tidak dapat lagi menutupi biaya tetapnya seperti gaji karyawan sewa gedung, BPJS TK.
Pada akhirnya, berdasarkan analisis ekonomi terhadap dampak pandemi Convid-19 atauCoronomic menunjukkan adanya kenaikan risiko negara sebagai konsekuensi kerentanan kondisi makroekonomi.Dalam jangka pendek, baik pemerintah maupun Bank Sentral berperan besar dalam menjamin bahwa perekonomian yang terdisrupsi akibat pandemi tetap berjalan. Peran pemerintah dalam merealokasi belanja yang selama ini boros dalam SPPD, kegiatan rutin tanpa takaran, mengambil tupoksi sesama Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dominan sosialisasi dan pengkajian ketimbang advokasi dan pemberdayaan masyarakat, seminar, rapat-rapat di pusat dan daerah lain ketimbang kunjungan lapangan di daerah sendiri, musrenbang lalu berpuas diri telah terealisir kegiatannya. Adanya gejolak pada sistem keuangan sungguh tepat telah diikuti oleh penurunan BI 7 days Reverse Repo Rate (BI7DRR)dan borongan 104 Surat Berharga Negara 9SBN) oleh Bank Indonesia untuk menjaga ekonomi dari terpaan sentimen pasar dan moral hazard. Karantina mandiri pada Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) merupakan cara efektif mengantisipasi datangnya musuh tak terlihat. Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) menurut temuan Levine dan Mc Kibbin merupakan cara murah dan efektif tinggi dalam mengantisipasi penyeberan COVId-19 yang menggerus nilai-nilai sosial dan ekonomi.
Usaha jangka panjang dalam mengantisipasi datangnya COVID-19 bersama variannya menjadi penting bagi berbagai negara mengalokasikan APBNnya bagi sistem jaminan kesehatan khususnya sistem jaminan kesehatan di berbagai negara berkembang dan miskin di mana berbagai penyakit infeksi berasal. Kerjasama global menjadi poin penting yang fokus pada kesehatan masyarakat dalam masyarakat yang hidup di atas satu planet bumi. (*Staf Pengajar Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB-Untad)