Oleh: Asrianti dg. Bintang*
BAHASA ibu merupakan bahasa yang pertama digunakan oleh penutur bahasa. Oleh sebab itu, bahasa ibu tidak selalu merupakan bahasa daerah. Namun, di Indonesia, bahasa ibu sering diidentikkan dengan bahasa daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011, 79,5 persen penduduk Indonesia berkomunikasi sehari-hari di rumah tangga dengan menggunakan bahasa daerah. Oleh karena mayoritas warga negera ini menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibunya.
Bahasa daerah menjadi instrumen paling kuat untuk melestarikan dan mengembangkan warisan kebudayaan sehingga pada tanggal 21 Februari diperingati sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Hari tersebut sebagai peringatan tahunan seluruh dunia untuk mempromosikan kesadaran akan keanekaragaman bahasa dan budaya serta mempromosikan multibahasa. Pertama kali diumumkan oleh UNESCO pada 17 November 1999, namun baru secara resmi diakui oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi yang menetapkan pada tahun 2008 sebagai International Year of Languages (Tahun Internasional Bahasa).
Hari Bahasa Ibu di Indonesia diperingati untuk melestarikan bahasa daerah. Namun, saat ini bahasa daerah terpandang kuno karena bahasa ini tidak pernah dihubungkan dengan hal-hal kemodernan. Kalau gedung-gedung dan fasilitas modern diberi nama dengan ungkapan-ungkapan bahasa daerah, masyarakat akan dengan sendirinya mengidentifikasikan bahasa daerah itu dengan nilai-nilai kemodernan. Jika tidak ada penguatan pendidikan bahasa ibu melalui pendidikan formal maupun non-formal, maka dipastikan bahasa ibu akan punah. Selain faktor media sosial yang membentuk generasi alay, berbahasa gaul, slang, dan bermental inlander atau kebarat-baratan selain itu, faktor jumlah penutur makin sedikit, pernikahan antarsuku, sikap bahasa penutur kurang fanatik, dan pengaruh media massa.
Pengguna yang masih setia berbahasa daerah terbatas usia lanjut; generasi muda dan anak-anak akan cenderung beralih ke penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang berstatus bahasa internasional dan hal ini bermula sejak penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam kehidupan rumah tangga. Dalam kaitan ini, bahasa Indonesia dalam politik nasional dengan sengaja dikondisikan sebagai bahasa yang berprestise, yaitu bahasa ini ditanggapi sebagai aspek kebudayaan yang tinggi, sehingga orang terdorong untuk menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan cara ini warga masyarakat mengidentifikasikan ketinggian derajat sosial mereka melalui penggunaan simbol-simbol atau bahasa prestise tersebut. Akibatnya, masyarakat bersikap positif terhadap bahasa Indonesia sehingga pada gilirannya mereka bersikap negatif terhadap bahasa daerah. Lambat-laun bahasa daerah tidak diperlukan lagi sebagai lambang identitas budaya dan daerah atau etnik.
Dalam hubungan itu, ada beberapa sikap negatif yang dilekatkan kepada bahasa daerah sehingga bahasa daerah terpandang tidak bermartabat. Hal ini perlu diungkapkan agar dapat diusahakan untuk mengubahnya menjadi sikap positif. Pertama, bahasa daerah terpandang kuno dan telah menjadi milik masa lampau. Kedua, bahasa daerah merupakan bahasa orang miskin dan tidak berpendidikan. Ketiga, bahasa daerah tidak berguna di luar kampung. Keempat, bahasa daerah menghalangi kemajuan.
Bahasa daerah dapat terus hidup dan berkembang dengan menjadikannya berprestise. Agar bahasa daerah ini berprestise dan dipandang berharga oleh penuturnya sendiri, beberapa usaha perlu dilakukan, yakni Pertama, keluarga-keluarga didorong untuk tetap berusaha menjadikan bahasa daerah itu sebagai bahasa pertama bagi anak-anak. Kedua, bahasa dan budaya daerah dijadikan mata pelajaran muatan lokal sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas.
Ketiga, bukan hanya sosialisasi penggunaan bahasa daerah untuk menuliskan nama jalan dan gedung, melainkan juga menggali dan mengungkap ungkapan-ungkapan bahasa daerah sebagai nama gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas modern yang ada. Keempat, pelembagaan nilai-nilai budaya utama perlu digalakkan melalui ungkapan-ungkapan dan pepatah-pepatah serta seni budaya tradisional lainnya. Kelima, perlu digalakkan usaha pembudayaan diri dalam nilai-nilai budaya yang menjadikan generasi penerus tetap memiliki identitas karakter. Keenam, perlu dihidupkan usaha penggunaan bahasa daerah formal pada upacara-upacara adat-istiadat. (*Dosen FKIP Universitas Tadulako dan Duta Baca Sulawesi Tengah)