Oleh: Tahmil Burhanuddin*

HIDUP di atas wilayah rawan bencana, wajib untuk meningkatkan kesiapsiagaan  seluruh lapisan masyarakat. Sulawesi Tengah pada umumnya merupakan daerah rawan bencana. Gempa bumi, tsunami, longsor, dan banjir bandang merupakan bencana berulang di daerah ini. Sudah siapkah kita menghadapi ancaman bencana yang selalu mengintai?

Gempa bumi disertai tsunami dan likuefaksi 28 September 2018 lalu hanya salah satu rentetan bencana alam yang berulang di Kota Palu dan sekitarnya. Bencana itu menelan ribuan korban jiwa. Lalu banjir bandang di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi pada 12 Desember 2019 menelan dua korban jiwa, pun merupakan bencana berulang di wilayah itu.

Pemicu gempa bumi di wilayah ini karena adanya patahan lempeng aktif atau sesar Palu Koro yang membelah daratan dari utara-barat laut ke selatan-tenggara Pulau Sulawesi, dan tepat melintasi sebagian wilayah Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah. Sementara banjir bandang, terjadi karena topografi wilayah, serta pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan atau perkampungan disinyalir jadi penyebabnya.

Badan Meteorologi Klimatalogi dan Geofisika (BMKG) kerap mengeluarkan peringatan dini terkait potensi bencana. Selain itu, BMKG juga merilis data-data kebencanaan yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah. Misalnya baru-baru ini, BMKG merilis jumlah gempa bumi di Sulawesi Tengah selama 2019. BMKG mencatat setidaknya terjadi 1.099 kali gempa bumi yang terasa di Sulawesi Tengah sepanjang tahun kemarin.

Memasuki musim penghujan saat ini, BMKG rutin mengeluarkan peringatan dini. BMKG mengeluarkan data-data prakiraan curah hujan beserta potensi terjadinya kerawanan bencana longsor dan banjir di beberapa titik.

“Jadi nanti data-data ini akan kami berikan kepada instansi terkait. Instansi terkait yang akan memberikan warning (peringatan) kepada pengguna transportasi laut (masyarakat),” ungkap prakirawan Stasiun Meteorologi Kelas II Palu Muhammad Fattan saat ditemui wartawan baru-baru ini.

Menurut praktisi kebencanaan M Isnaeni Muhidin, data-data yang dikeluarkan oleh BMKG itu seharusnya menjadi pengingat dan bahan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan potensi dan cara mengantisipasi setiap ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja.

“Data itu seharusnya dibumikan ke warga. Artinya, ilmu kegempaan itu tidak hanya dimiliki oleh orang terbatas. Memang bukan tugas pokok BMKG untuk bikin kesadaran warga yang baik tentang itu. Kita percaya gempa itu urusan semua orang,” ungkap pria berewok yang lebih dikenal dengan panggilan Neni Muhidin itu.

Neni yang aktif memberikan literasi dalam forum pengurangan risiko bencana di Sulteng itu menyebut, seharusnya warga sadar akan ancaman bencana di masing-masing daerahnya ketika pihak BMKG telah mengeluarkan peringatan dini atau data-data terkait bencana tersebut.

Dia menganggap penting bagi masyarakat luas untuk membicarakan setiap potensi bencana di daerahnya. Hal itu sekaligus sebagai pengingat. Pemerintah daerah harus memfasilitasi masyarakat untuk menyiapkan wadah diskusi terkait kebencanaan.

“Contoh waktu hujan, ancamannya banjir. Nah apakah warga sadar akan ancaman itu? Di sini peran warga memang jadi lebih besar. Warga harus merasa perlu membicarakan ini,” kata Neni.

Dia mencontohkan peristiwa banjir bandang di Desa Bolapapu yang menelan 2 korban jiwa. Sebulan sebelumnya, ia beserta beberapa warga dalam sebuah forum melakukan pertemuan dan membicaran terkait banjir dan ancamannya di wilayah tersebut.

“Banjir, gempa, itu adalah fenomena yang terus berulang. Warga tahu bahwa ancaman itu nyata tapi tidak membawa suatu kesadaran bahwa bencana itu berulang,” tandasnya.

“Data saja tidak cukup. Tidak punya korelasi ketika terjadi bencana tidak menelan korban,” jelasnya.

Sehingga dia menyebut perlu wadah bagi warga untuk selalu membicarakan kebencanaan, potensi dan ancamannya. Dia menyebut, seharusnya warga sudah siap menghadapi setiap ancaman bencana yang ada, sebab bencana yang terjadi di daerah ini merupakan bencana yang terus berulang.

“Kalaupun ada kerusakan, bisa ditekan seminim mungkin. Jangan sampai ada korban jiwa,” dia menambahkan.

“Strategi yang mungkin harus dilakukan keluar dari pembicaraan formil untuk membicarakan dengan warga terkait kebencanaan. Data ini seharusnya bisa jadi pengingat di warga. Misalnya soal Palu Koro yang masih menyimpan energinya di wilayah selatan, mitigasi apa yang disiapkan untuk menghadapi itu?,” pungkasnya.

Terkait masih adanya potensi energi yang tersimpan di wilayah selatan Sesar Palu Koro, Neni berharap agar seluruh lapisan masyarakat mulai aktif mendiskusikan bagaimana potensi dan ancamannya, meningkatkan mitigasi untuk meminimalisir kerugian jika terjadi bencana yang tak diinginkan.

Dia mencontohkan kebiasaan masyarakat di Kaikoura, salah satu wilayah di Selandia Baru yang dihantam gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,8 skala richter pada 14 November 2016 silam. Masyarakat di sana aktif membicarakan ancaman yang bisa terjadi kapan saja. Mereka sadar hidup di atas lempeng tektonik punya ancaman gempa bumi yang bisa terjadi kapan saja. Mitigasi yang perlu ditingkatkan.

“Misalnya di Kaikoura, di sana ada perkumpulan warga untuk mmbicarakan apa saja ancaman (yang ada) di sana,” kata Neni yang baru saja mengunjungi daerah tersebut.

“Forum seperti di Sigi itu perlu, terutama di level paling bawah. Kita tidak punya cara (untuk mengantisipasi bencana). Orang ingin membicarakan itu, tapi mereka tidak punya wadah. Caranya yang belum kita temukan. Pemerintah harus memfasilitasi itu,” ungkap pria yang punya rambut sebahu itu.

Misalnya di Sigi, kata dia, pemerintah bisa memetakan setiap daerah apa yang harus dilakukan untuk setiap ancaman bencana yang ada, seperti banjir.

“Apakah kota ini punya dokumen kontigensi saat terjadi gempa lagi? Pemerintah masih sebatas fokus menyalurkan bantuan,” terangnya. (* Wartawan Metro Sulawesi) 

Ayo tulis komentar cerdas