
- PKM Kelompok Usaha Rono Tapa di Desa Lero Tatari, Donggala
Palu, Metrosulawesi.id – Belum lama ini dua dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas, Tadulako Syamsuddin dan Ahmad Syatir melakukan pemberdayaan kelompok ibu-ibu nelayan. Kelompok ini menggeluti usaha pembuatan rono tapa/dange di Deso Lero Tatari Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala. Berikut laporannya.
Rono tapa atau dange (teri panggang) adalah salah satu makanan olahan khas warga Kota Palu. Sebelum dipanggang ikan teri (warga suku Kaili menyebutnya “rono”), lebih dahulu dikelompok-kelompokkan kecil kemudian dibungkus daun pisang. Bentuknya pipih dan bundar. Setelah dibungkus daun pisang kemudian diletakkan di atas panggangan dan dipanggang hingga matang.
Setelah itu barulah didistribusi ke pasar-pasar tradisional di Kota Palu dan sekitarnya. Rata-rata yang membawa dan menjualnya di pasar adalah ina-ina (ibu-ibu).
Proses pembuatan rono dange memang terbilang masih sangat tradisional. Rata-rata masih dipanggang menggunakan tungku dari batu dan besi plat. Inilah yang menarik minat kedua dosen itu untuk memberdayakan kelompok ibu-ibu nelayan itu.
“Kami membantu mereka bagaimana memproses pembuatan rono tapa dengan hasil yang bagus, hingga soal pemasarannya,” kata Dr Syamsuddin SE MSi kepada Metrosulawesi.
Kegiatan ini kata Syamsuddin mendapat bantuan dari kementerian Ristek Dikti pada pengabdian kepada masyarakat Skim Program Kemitraan Masyarakat (PKM) dengan judul “PKM Kelompok Usaha Rono Tapa di Desa Lero Tatari Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala”. Kegiatan ini diawali dengan pertemuan dengan perangkat desa dan kelompok masyarakat di Desa Lero Tatari.
Materi penyuluhan menekankan pada aspek manajemen produksi. Mulai dari input (bertalian dengan bahan baku dll) proses transformasi, dan output (produksi rono tapa). “Ketiga unsur ini harus bersinergi secara baik dan kontinyu sehingga dapat menghasilkan produksi yang bermutu tinggi,” kata Syamsuddin.
Untuk aspek manajemen keuangan, ibu-ibu nelayan itu dibentuk kelompok-kelompok, sehingga dalam pengelolaan keuangan (cash flow) dapat berfungsi dengan baik. Sedangkan, aspek manajemen sumber daya manusia menekankan pada kekompakan dan kebersamaan dalam usaha. Selanjutnya, aspek manajemen pemasaran hasil produksi menekankan pada distribusi ke pasar di Kecamatan Sindue dan di Kota Palu.
Pada kesempatan itu kata Syamsuddin, disepakati membentuk dua kelompok usaha. Yakni, kelompok Mutiara Rono Tapa dan Rono Tapa Mekar. Keduanya dimotori oleh ibu Sarini.
“Jika dalam usaha berkelompok, kita mudah saling membantu dan mengingatkan dalam banyak hal,” ungkap ibu Sarini seperti dikutip Syamsuddin.
Syamsuddin yang akrab disapa Pak Syam itu mengatakan, hasil observasi awal timnya menemukan permasalahan pokok yang harus segera diselesaikan dalam Program Kemitraan Masyarakat (PKM) di Desa Lero Tatari. Yakni perlunya sentuhan teknologi tepat guna dalam proses produksi rono tapa/dange.
Rono tapa/dange adalah produk hasil makanan yang dapat langsung disajikan/dikonsumsi, dan dapat pula melalui proses berlanjut untuk mendapatkan rasa khas yang lain. Misalnya, dengan pemberian bumbu dan penyedap lainnya.
“Karena bersentuhan dengan makanan maka idealnya harus diproduksi secara higienis. Jauh dari unsur-unsur yang dapat membahayakan kesehatan. Misalnya diproduksi/dibuat pada wadah/tempat tertutup,” kata Syamsuddin.
Karena itulah Tim PKM kemudian membuat tempat produksi berupa oven/lemari panggang untuk rono tapa. Setelah jadi, oven atau lemari panggang ini kemudian diuji coba di Laboratorium Fakultas Teknik Untad. Hasilnya, sangat memuaskan.
Selanjutnya, oven itu kemudian dibawa ke desa sasaran, yakni Desa Lero Tatari Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala untuk demo memanggang rono tapa.
“Berdasarkan hasil demo alat didapatkan beberapa hal yang secara ekonomi menguntungkan bagi masyarakat yang berusaha pada usaha tersebut,” kata Syamsuddin.
Hal yang menguntungkan dari penggunaan oven itu, adalah: produk rono tapa bebas dari debu dan lainnya serta hasilnya lebih higienis; Dapat menampung jumlah produksi lebih banyak dibandingkan dengan wadah/tempat sebelumnya, dimana sebelumnya hanya bisa menampung 25 – 40 buah sekali proses pemanggangan, dengan wadah/tempat yang baru ini dapat menampung 75 – 125 buah sekali proses pemanggangan karena dibuat dalam bentuk 5 rak;
Dapat mengefisienkan bahan bakar yang digunakan berupa sabuk kelapa dan jenis kayu-kayuan lainnya.
Tidak itu saja, oven itu juga dapat memangkas durasi waktu memanggang lebih pendek,
karena panas yang dihasilkan tidak menyebar kemana-mana (fokus). Selain itu, bentuk daun pisang yang digunakan sebagai pengalas/bungkus tidak hangus. Bahkan, aroma rono tapa/dange yang dihasilkan tidak kalah gurih/enak dari sebelumnya.
Dan yang tak kalah penting, produk rono tapa dari oven itu bisa lebih awet dibandingkan jika dipanggang secara tradisional. Yang terakhir, oven itu menguntungkan kelompok nelayan, karena bisa dipakai secara bergantian.
Satu-satunya kelemahan dari oven itu kata Syamsuddin, adalah belum menggunakan sensor panas otomatis. Sehingga dalam proses produksinya masih harus selalu dikontrol kematangan hasil rono tapa/dange.
“Jika menggunakan sensor panas, maka pada suhu panas tertentu secara otomatis akan mati/padam untuk menghindari kegosongan (hangus),” kata Syamsuddin.
Meski begitu, Syamsuddin mengaku sangat senang, karena target khusus mereka pada program PKM tersebut dapat tercapai.
“Pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang arti pentingnya usaha berkelompok, berusaha dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen, serta pemahaman tentang arti pentingnya sentuhan teknologi dalam berusaha (perpaduan cara tradisional dan cara modern), sehingga mutu dan daya tahan produk rono tapa/dange (teri panggang) lebih baik dan lebih lama,” ujarnya.
“Kami berterimakasih kepada Kementerian Ristekdikti yang telah memberikan kepercayaan dan bantuan untuk melakukan kegiatan program kemitraan masyarakat yang terpusat di Desa Lero Tatari,” pungkasnya. (din)