
- Mengikuti Ritual Malabo Tumpe di Batui Kabupaten Banggai
Setiap tahun di bulan Desember, masyarakat Batui, Kabupaten Banggai dan masyarakat Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan menggelar tradisi Malabo Tumpe, yang dalam bahasa Banggai dan Saluan mengandung arti sesuatu yang pertama atau awal. Seperti apa? Berikut laporannya.
UPACARA Penghantaran dan Malabo Tumpe/Tumbe telah menjadi istilah dalam adat Banggai sebagai suatu prosesi penghantaran dan penerimaan Telur Burung Maleo (Macrochepalon Maleo), dari masyarakat adat Batui kepada Tomundo Banggai dan Keluarganya di Banggai. Prosesi adat penghantaran dan malabot/menerima Tumpe adalah kebiasaan yang dilaksanakan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat adat lokal Batui dan Banggai. Telur Maleo belum dapat dinikmati oleh masyarakat adat di Batui sebelum telur tersebut diantarkan kepada keluarganya di Banggai sebagai masyarakat yang memegang teguh amanah leluhurnya.
Wartawan Metro Sulawesi berkesempatan melihat langsung ritual adat tersebut yang dilaksanakan sejak Tanggal 2 Desember 2019, hingga tanggal 4 Desember 2019, walau sebenarnya rangkaian ritual Malabo Tumpe itu dilaksanakan sejak tanggal 1 Desember dengan pengumpulan telur Burung Maleo (Macrochepalon Maleo) oleh Bosanyo (Jabatan Ketua Adat Batui) dan perangkat adat mengorganisir masyarakat adat Batui melalui Dakanyo atau pemimpin adat setingkat di bawah Bosanyo, guna pengumpulan telur Maleo, yang di simpan di Rumah Adat Batui.
Sore itu, Senin 2 Desember 2019, di rumah adat Batui yang terletak di Kecamatan Batui, sudah dipadati masyarakat. Hanya tamu undangan dan Bosanyo (Jabatan Ketua Adat Batui), beberapa Kusali, terutama Kusali Matindok, Loa dan Bolak asal-muasal 3 kerajaan kecil di Batui, dan para pembawa telur (ombuwa telur) yang berbaju merah yang nantinya akan membawa Telur Maleo, yang boleh naik ke atas rumah adat yang berbentuk rumah panggung dan berwarna Merah serta Hitam itu.
Setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai, yang saat itu dihadiri langsung Wakil Bupati Banggai, H. Mustar Labolo memberikan sambutan pemerintahan, ritual adat itu dilanjutkan dengan penjelasan secara runut dari Bosanyo (Jabatan Ketua Adat Batui) tentang kisah di balik dan tujuan dari kegiatan Malabo Tumbe tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan ritual doa pada telur-telur yang telah dibungkus dengan daun Kombuno yang sejenis daun Palma. (Dahulu kala telur-telur tersebut dibuatkan ritualnya/diasapi kemudian digantung di tempat khusus, dan yang diantarakan ke Banggai adalah telur yang digantung setahun lamanya, dan yang diambil saat ini untuk diantarkan tahun depan karena melimpahnya jumlah telur Maleo di Bakiriang Batui).
Setelah ritual doa, para pembawa telur yang berpakaian serba merah satu demi satu mengambil beberapa telur langsung dari Bosanyo. Dan telur tersebut akan diantar dengan berjalan kaki ke sungai yang berada tidak jauh dari Rumah Adat. Saking sakralnya pengantaran telur tersebut, warga yang menikuti ritual Malabo Tumbe itu, tidak ada yang boleh berada di depan iring-iringan pengantar telur. Hanya boleh melihat dari pinggir jalan dan bagi yang ingin mengikuti ritual tersebut hanya boleh berjalan di bagian belakang pengawal yang membawa telur burung Maleo.
Setibanya di tepian Sungai, sudah menunggu Kapal Kayu dengan beberapa perahu yang siap mengantar ke Banggai. Menurut tradisi, jumlah pengantar berjumlah tujuh orang yang terdiri dari tiga orangtua dan empat pendayung, serta beberapa orang pemain alat musik pukul, sepeti Gendang dan Gong. Namun saat ini perahu dayung itu sudah digantikan dengan kapal kayu bermesin.
Setelah dilaksanakan upacara pelepasan, kapal kayu yang membawa telur burung Maleo itupun berangkat menyebrangi lautan ke Kabupaten Banggai Laut. Dalam perjalanannya, rombongan penghantar telur harus singgah di Pinalong untuk melontar. Selanjutnya rombongan terus ke tanjung merah, suatu daerah di pulau Labobo, Mansalean untuk bermalam dan mengganti pembungkus telur dan daun Kombuno yang baru. Bekas pembungkus telur yang lama akan dilepas dan dihanyutkan di laut. Daun bekas pembungkus telur tersebut akan dihanyutkan mengikuti arus laut yang akan membawanya ke pantai Banggai, sehingga menjadi tanda bagi pihak kerajaan bahwa rombongan pengantar telur Maleo telah berada di Tanjung Merah bersiap masuk ke Banggai. Sehingga disiapkan ritual Malabot/menerima oleh Batomundoan Banggai.
Setelah dua hari menyeberangi lautan, Rabu pagi 4 Desember 2019 pagi, rombongan pengantar (ombuwa telur) akan menghantarkan perahu ke Banggai Lalongo. Setelah sampai di depan Banggai Lalongo, perahu diarahkan kembali ke Kota Tua/Kampung Jin di depan Tinakin bolak-balik. Setelah itu perahu diarahkan kepelabuhan Banggai yang berhadapan dengan Keraton Batomundoan Banggai.
Setibanya di pelabuhan Banggai, Malabot Tomundo memberi mandat kepada Bobato, dalam hal ini Jogugu untuk memimpin penjemputan sekaligus menerima hantaran Telur dari Batui. Selanjutnya akan kembali dibawa oleh sejumlah pemuda (ombuwa telur) yang berbaju serba putih dan berselempang merah, dengan berjalan kaki ke Keraton Batomundoan Banggai, dimana telur-telur burung Maleo itu, menjadi wewenang Jogugu untuk mengaturnya untuk dibagikan kepada keluarganya di Banggai Lalongo, Boneaka dan Padang Laya. Sisanya akan diberikan kepada keluarga-keluarga yang lain di Banggai.
Setelah telur telah resmi diterima maka rombongan pengantar akan kembali ke Batui dan melaporkan kepada Bosanyo Batui dan ketiga Kusali Matindok Loak Bolak, yang kemudian seluruh pertangkat adat bersama masyarakat adat membuat ritual adat, sebagai ucapan syukur atas selesainya tugas melaksanakan amanat leluhurnya.
Kepala Bidang (Kabid) Pengembangan, Pemasaran Pariwisata, Dinas Pariwisata Sulteng, Nurhalis M. Lauselang, mengatakan, ada dua pelajaran pokok yang dapat diambil dari prosesi adat tersebut. Yakni sosial kultur, bahwa masyarakat Banggai, baik yang berada di kepulauan maupun yang berada di daratan besar, sejatinya adalah bersaudara apa yang dirasakan oleh masyarakat di Banggai darat haruslah ikut dirasakan oleh masyarakat Banggi di kepulauan.
“Sementara yang kedua adalah aspek lingkungan, bahwa pesan tersebut menyatakan bahwa burung Maleo beserta alam pendukungnya haruslah dipelihara dan dijaga agar ia dapat berkembang biak dengan baik dan lestari sepanjang masa,” katanya.
Nurhalis juga mengatakan, yang menjadi realitas saat ini adalah keberadaan Telur dan Burung Maleo di Batui khususnya dan Banggai pada umumnya sangat terancam kelestariannya. Jumlah Burung yang semakin sedikit dan sangat langka ditemukan menjadi sebuah keprihatinan sekaligus mejadi tanggungjawab semua pihak/stageholder terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
Mengingat burung Maleo bukan saja burungyang mempunyai hubungan erat dengan masyarakat adat Banggai tetapi merupakan asset Bangsa diatas keanekaragaman fauna, yang kita ketahui bersama bahwa diseantero dunia ini, burung ini hanya terdapat di Banggai dan sekitarnya, Sulawesi Tengah Indonesia. Sebagai fauna tua dan langka di dunia dalam wilayah Walasea burung Maleo seperti halnya Komodo.
“Hal ini merupakan kebanggaan masyarakat Banggai sekaligus melekat tanggungjawab akan keberlangsungan hidup spesies ini. Untuk itu perlu langkah kongkrit ada tindakan penyelamatan melalui berbagai program baik itu dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten yang melibatkan masyarakat khususnya Masyarakat Adat Banggai dan masyarakat pada umumnya,” terangnya.
Dalam kesempatan itu, Nurhalis juga menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan kerajaan Banggai telah menetapkan kawasan Bakirian di Batui sebagai wilayah konservasi adat atas hutan untuk satwa Maleo, dan Pati-pati di Bualemo wilayah konservasi adat atas hutan dan satwa Anoa dan Rusa lewat keputusan Raja Banggai tahun 1936.
“Ini adalah bukti kearifan dan betapa konsennya kerajaan Banggai dan masyarakat adat Banggai terhadap pelestarian lingkungan dan satwa-satwa di Negeri ini. Tiada kata terlambat saat ini kita masih bisa menyelamatkan sekaligus merehabilitasi kembali hutan dan habitat burung Maleo, dengan kerja-kerja kongkrit dan keterlibatan semua pihak terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan,” tutupnya.
Reporter: Djunaedi
Editor: Udin Salim