Oleh: Muhammad Basir Cyio*
DUA istilah ini akhirnya makin popular karena kedua era menjadi bahan diskusi dan menarik untuk disimak. Padahal, bangsa Indonesia sekalipun bekas koloni oleh berbagai negara lain, di mana Belanda dikenal sebagai negara terlama menjadikan Indonesia sebagai koloni namun istilah itu mulai terlupakan atau setidaknya memudar dalam bingkai ingatan. Meredupnya istilah kolonial seiring dengan perjalanan waktu.
Namun, istilah kolonial kini kembali mengudara dengan tiupan angin yang mengalahkan bencana alam Topan Hagibis yang baru saja melanda Tokyo bagian barat. Ini terjadi bersamaan munculnya seorang pemimpin di Kemendikbud bernama Nadiem Makarim BBA. MBA., sosok pendiri Go-Jek yang benar-benar berusia sangat muda untuk ukuran posisi Menteri.
Nadiem Makarim akhirnya menjadi trending sebab di usia 35 tahun sejak terlahir pada tanggal 4 Juli 1984 di Singapura, adalah sosok yang masuk usia millennial. Setelah membaca berbagai tulisan, istilah atau terminologi generasi millennial berasal dari millennials yang dirilis pakar sejarah Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya yang sudah sangat mudah ditemukan di berbagai media. Generasi ini dikenal sebagai “generasi Y” katanya, atau ada juga yang menyebut “generation me” atau “echo boomers”.
Pakar menggolongkan, entah apa dasarnya, namun dengan melihat tahun awal dan tahun akhir, yakni lahir tahun 1980-1990. Di Indonesia juga sering kita dengar istilah generasi berdasarkan ketersohoran seorang penyanyi. Ada era kejayaan Lilis Suryani tahun 70-an, dan sejumlah artis top Indonesia. Artinya, istilah seperti itu lahir karena kultur dan kepopuleran sesuai masa dan perkembangannya.
Bagaimana dengan Menteri Nadiem Makarim? Sebagai anak muda yang lahir antara 1980-1990, maka Nadiem dikelompokkan ke dalam era millenial sebab sosok Bos Go-Jek ini lahir tahun 1984 atau 35 tahun yang silam. Sebagai sosok millennial, maka versusnya juga menjadi top yakni zaman kolonial. Kolonial memang suatu era, di mana bangsa Indonesia ditindas dan dijajah oleh bangsa lain, yang sangat mengerikan dari berbagai aspek. Namanya penjajah, maka clusternya jelas terukur. Siapa yang menyiksa dan siapa yang disiksa. Perjalanan panjang bangsa kita dikoloni plus disakiti, maka orang sakit itu hanya bisa pasrah dan mengikuti irama para penjajah, sehingga terbawa menjadi pribadi yang noncreative.
Mental koloni ini, ternyata belum habis hingga saat ini, sekalipun posisi Indonesia yang dikoloni sudah berakhir sejak para gagah perkasa bangsa ini siap meneteskan darah dan melayakkan jiwanya demi sebuah sumpah, “Merdeka atau Mati” di bawah panglima pejuang kita. Puncaknya pada 17 Agustus 1945. Apa saja mental koloni yang ditinggal para penjajah? Sikap apatis dan selalu khawatir dengan perubahan. Mental ini masih banyak mengoloni cara berpikir anak negeri yang selalu merasa puas dengan apa yang ada, tanpa ada keinginan untuk berubah. Bahkan setiap ada perubahan dianggap musibah mulai mengancam.
Nadiem Makarim yang mempersatukan Kemendikbud dengan Kemenristekdikti dalam semenanjung Kemendikbud yang selama lima tahun ini satu kompleks tapi beda komando, disambut kedua keluarga semenanjung dengan suka cita, walaupun tentu ada juga yang berpendapat lain. Namun dengan terbitnya Keppres Nomor 72 Tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 24 Oktober 2019 yang memuat struktur organisasi Kemendikbud yang baru dan semua Direktorat Jenderal yang ada di Kemenristekdikti yang menangani Pendidikan Tinggi termasuk staf ahli, tetap terakomdir. Ini artinya, gesekan yang akan muncul semakin minimal. Itu artinya, biarkan Korea Utara dan Korea Selatan masih terus bermusuhan dan berjaga-jaga di zona demilitersasi atau DMZ (Demilitarized Zone) di Panmunjom demi mempertahankan kekuasaan keduanya. Namun, bagi kelompok yang tergabung dalam komunitas pendidikan harusnya bersuka ria. Pendidikan anak usia dini hingga Pendidikan Tinggi mempunyai satu tujuan yang mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri. Itulah hakikat tujuan Pendidikan. Oleh karena itu, bersatunya kembali dua lembaga di semenanjung Pendidikan adalah sesuatu yang sangat ideal.
Keraguan dan kekhawatiran sebagian orang akan kemampuan Nadiem Makarim dalam memimpin kementerian terbesar ini, adalah hal yang wajar jika perspektif yang dibangun bertolak dari dimensi kultur akademik. Memang tidaklah cukup kata sebagian orang jika sosok praktisi dalam bidang bisnis lalu kemudian akan berhadapan dengan orang-orang yang memiliki high capacity di bidang akademik. Pandangan itu tidak keliru tapi perspektif lain juga bisa terbangun untuk meng-counter itu. Bahwa kapasitas akademik yang tinggi tetapi lompatan pemikiran masih dibayang-bayangi oleh koloni kaum penjajah, maka akan muncul dua pertarungan yang sulit dihindarkan. Bertahan dalam pemikiran kolonial demi sebuah pragmatisme ataukah digerus oleh perubahan dengan datangnya era millennial yang dipimpin oleh orang berpikiran kekinian?
Waktu akan menjawab semuanya. Bahwa Menteri Nadiem dijuluki dapat meramalkan, itu juga wajar, tetapi fakta hidup yang dirasakan saat ini adalah realitas yang kala itu terlahir dari gagasan estimasi. Kata ramalan memang lebih pas jika dikaitkan dengan ahli nujum atau almarhumah Mama Lorenz, namun istilah estimasi atau predictable, justru itulah yang diajarkan kita dalam bingkai pemikiran rasionalisme dengan menggunakan berbagai instrumen, baik matematis maupun statistika yang memungkinkan menggunakan ilmu pengetahuan untuk merekonstruksi pemikiran dari yang bersifat atomis menuju holistik atau dari pemikiran deduktif menuju pada pemikiran induktif. Semua pola dan patron ini terus dipelajari dan dilakukan serta dipraktikkan oleh siapapun ilmuwan yang melakukan riset baik skala besar (duit dan cakupan akademiknya) maupun skala kecil (bagi start up researchers di Perguruan Tinggi).
Di kalangan perguruan tinggi, kelompok pemikiran kolonial dan millennial juga masih sangat terasa, ibarat dua semenanjung Korea belum bisa disatukan. Sekalipun Kemendikbud dan Kemenristekdikti sudah bersatu oleh pemimpin millennial yang lahir tahun 1984, namun suasana versus kedua golongan ini akan tetap ada dan dalam posisi yang “terpisah” (kolonial dan millennial) sama dengan kedua Semenanjung Korea yang sampai sekarang belum bersatu sejak terjadi perang dua korea Tahun 1984—saat di mana Mendikbud terlahir. Korea Selatan dengan pemikiran ideologisnya demokratis liberal, di belakangnya adalah Amerika dan sekutunya, sementara Korea Utara dengan ideologis komunis yang di belakangnya China dan Rusia. Lengkaplah dua suasana ini. Suasana semenanjung Kemdikbud disatukan oleh anak muda kelahiran 1984 dan Semenanjung Korea terpisah karena perang tahun 1984. Biarkan semenanjung Korea terpisah karena itu bukan urusan kita. Yang kita bahagiakan karena dua kementerian yang mengurus pendidikan telah bersatu.
Adakah kemungkinan terjadi gesekan ke depan dari kedua pemikiran raksasa yang bergabung dalam semenanjung Kemendikbud? Kita tentu jangan meramal karena kita bukan dukun dan bukan juga kader Mama Lorenz. Tetapi jika kita mau membangun pemikiran yang berdimensi scientific, maka aka ada dua kemungkinan besar yang akan “mengguncang” Semenanjung Kemendikbud yang bersatu.
Yang pertama: Di saat Mendikbud Nadiem “Millenial” Makarim (NMM) mengambil keputusan strategis yang membuat lompatan yang sulit diikuti oleh pemikiran Akademisi “Kolonial” Kontemporer (AKK), maka para akademisi eks Semenanjung Kemenristekdikti. Bukan tidak mungkin akan ada yang mengatakan betapa NMM telah menabrak kultur akademik yang telah terbangun sekian lama. Bisa NMM dinilai betapa pendidikan telah diobok-obok tanpa memahami budaya akademik yang sejak lama terjaga, dan terhormat. Kira-kira suasana itu akan menggelinding. Jika suasana ini meluas dan lompatan yang dibuat NMM tidak di-backup secara utuh oleh Pak Presiden, maka kepemimpinan NMM akan berada pada zona mengkhawatirkan. Bila gaduh bangsa ini, maka bukan tidak mungkin NMM akan mengakhiri posisinya di semenanjung Kemendikbud Bersatu. Jika Pak Presiden bertahan untuk tetap mengawal dan mem-backup NMM di posisinya maka NMM akan dibuat seolah tidak nyaman oleh berbagai pernyataan AKK, walau posisi jabatan Menteri secara politis akan tetap kokoh sekokoh besi beton. Bahkan bukan tidak mungkin, keluarga NMM akan ikut terbelah pemikiran. Yang merasa tidak enak membaca pernyataan AKK di media akan meminta mending “balik ke Go-Jek”. Tapi tentu ada pula yang mengatakan, jangan baca pernyataan para AKK karena mereka hanya kaget dipimpin oleh anak muda millennial, saatnya juga akan damai. Kesimpulan poin pertama; NMM akan tetapi bertahan sekalipun terganggu karena beliau punya cita-cita luhur dalam memajukan pendidikan, dan AKK juga memiliki harapan agar jangan gebrakan membuat suasana menjadi tidak nyaman. Jadi jika pun ada riak, itu hanya karena channel hati keduanya yang belum dipertemukan. Kata Dewi Persik “akan indah pada waktunya”.
Yang kedua: AKK akan secara perlahan mengambil posisi diam dan secara bertahap melakukan penyesuaian diri atas kebijakan modern yang dikeluarkan NMM untuk mengelola batin atas system imun dalam tubuh AKK demi sebuah perubahan, minimal bisa menerima perubahan sekalipun masih enggan untuk melangkah. Setidaknya penderitaan batin mulai menurun seiring dengan meningkatnya tingkat penerimaan atas dinamika yang ada. Memang tidak mudah sebab ada AKK di perguruan tinggi—tidak semua, terlanjur kelamaan ternina bobokkan dengan kapasitas keilmuan masing-masing, tanpa diikuiti oleh keinginan untuk terus menerus meningkatkan kompetensi lainnya yang justeru bisa menjadi perisai atau alat adaptor, istilah dalam dunia elektronik, agar di saat voltase perubahan datang secara tiba-tiba, adaptor yang diperoleh dari kompetensi lainnya dapat menyelamatkan peralatan yang ada dalam rumah tangga jasmaniah. Mulai dari hati, pemikiran, hingga perasaan yang gulana. Kompetensi utama yang sesuai latar belakang pendidikan dan keahliannya sering kali melenakan sosok AKK sehingga membaca hal lain, mendengar hal yang berbeda, dan menatap sesuatu yang asing, terkadang menimbulkan bercak pemikiran mirip dengan tanda-tanda alergi pada kulit dalam istilah medis. Bercak pemikiran bila tidak ditangani dengan kekuatan “soul” maka bercak itu bisa berdampak luas menjadi benjolan batiniah dan akhirnya pecah karena mengandung “nanah” pragmatis. Susah berubah, berat membawa diri, dan selalu enggan melangkah untuk berbenah.
Lalu siapa yang salah? Bersatunya Semenanjung Kemdikbud maka itu artinya, AKK yang selama ini berada di Semenanjung Kemristekdikti akan menjadi potensi raksasa menyambungkan tali edukasi yang tadinya hanya Pendidikan Dasar dan Menengah, kini menjadi “Pendidikan” yang di dalamnya sudah ter-blended secara utuh dengan Pendidikan Tinggi di bawah kepemimpinan Pak NMM. Jadi, tidak akan ada musibah batiniah dan derita rasional sepanjang setiap AKK yang ada di perguruan tinggi segera menata diri. Tidak ada yang salah. Dalam banyak pengalaman pribadi saat memberi materi di pelatihan Pekerti (Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional) dan AA (Applied Approach) bagi dosen generasi penerus di kampus kami tercinta Universitas Tadulako, senantiasa saya ingatkan. “Jika kalian mau survive maka perbesar porsi adaptabilitas dalam hidup” dan menjaga tugas mulia bernama tri darma. Mari kita sama-sama menanti gebrakan Pak NMM. Tidak akan ada kebijakan beliau yang akan menghancurkan kita kecuali kita sendiri yang menghancurkan diri sendiri karena enggan mengikuti falsafah hidup “Ulat Hijau Daun”. Kita mati karena selalu takut dengan perubahan. Padahal ulat hijau daun telah memberi teladan yang luar biasa. Saat berada di pohon yang rindang, maka ulat hijau daun dengan nikmatnya menyantap makanan-makanan segar dalam bentuk daun yang hijau. Namun, tatkala musibah datang menerpanya dengan tiupan angin yang kencang, si ulat pun terlepas dari dedaunan hijau yang membuatnya hidup nikmat selama ini. Dia pun jatuh dan tersungkur di atas serasah daun kering yang berada di bawah pohon tempat dia menggapai impian hidupnya berhari-hari. Matikah dia? Ternyata tidak. Dia telah dipesan oleh Nenek Moyangnya, yang juga Ulat Hijau Daun; Nak, suatu saat kalian akan terjatuh dan tidak selamanya bisa bertengger di dedaunan yang hijau nan nikmat. Jika daun hijau sudah tak hadir dalam hidupmu maka makanlah serah kering itu. Sebab serasah itu juga berasal dari daun hijau yang belum sempat kamu makan sejak masih di pohon. Tutup matamu, santaplah serasah itu, lalu bayangkan dia saat masih hijau tapi belum sempat kamu nikmati. Pesan itulah membuat si ulat hijau daun tetap bisa bertahan hidup. Dia pun akhirnya mati bukan karena soal makanan, tapi yang punya kebun membakar dedaunan kering. Karena api sulit dipadamkan, maka yang terbakar bukan hanya serasah yang kering bersama ulatnya, tapi penjaga kebun juga ikut terbakar karena ulah sendiri.
Akhir kata, mengapa kita terlalu khawatir setiap ada perubahan. Apapun kebijakan NMM kita jalankan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama, UUD 1945, Pancasila, dan Kultur Bangsa kita tercinta. Andai pun beliau mengembangkan sistem dan aplikasi, kita orang-orang berkapasitas akademik harus mampu menimbang dan berkreasi. Kita pun harus sadar bahwa sekalipun akademisi itu hebat tetapi tidak diberi otoritas sebab yang diberi kewenangan adalah Pak Menteri sekalipun bukan Professor dan sederet gelar akademik lainnya. Ingat, pengalaman Pak Nadiem “Millenial” Makarim; dari Go-Jek untuk penumpang, Go-Send untuk jasa pengantaran paket, Go-Food untuk jasa Pemesanan makanan, Go-Clean untuk Jasa pembersihan rumah, dan Go-Pay untuk jasa pembayaran, yang semuanya telah menyentuh kehidupan nyata di era millennial. Kita berharap Pak NMM dapat mengembangkan aplikasi “Go-Edu” untuk berbagai lompatan di bidang Pendidikan. Atau ada tambahan aplikasi jika guru dan dosen mau dinaikkan tunjangannya, cukup masuk di aplikasi Go-Wow, untuk mengetahui ada tambahan kenaikan, cek di Go-Rek. Bila sampai pensiun belum juga masuk-masuk, coba cek di Go-Nasib. He he he. Welcome Pak Menteri dan salam Semenanjung Kemendikbud-.(mbc30102019)
*Penulis Guru Besar Universitas Tadulako/Ketua Senat Universitas Tadulako.