DISKUSI - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah menggelar diskusi kepemiluan dan demokrasi di salah satu warkop di Palu, Selasa 8 Oktober 2019. (Foto: Syamsu Rizal/ Metrosulawesi)
  • KPU Sulteng Diskusi Bareng Mahasiswa

Pemilu dengan sistem proposional daftar terbuka dan sistem mayoritarian (distrik) rentan politik uang dan berpotensi menghasilkan anggota DPR/DPRD yang tidak kompatibel. Tetapi, inilah sistem yang dianggap paling tepat diterapkan saat ini dalam kepemiluan di Indonesia.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah menggelar diskusi kepemiluan dan demokrasi di salah satu warkop di Palu, Selasa 8 Oktober 2019. Kegiatan bertajuk Fasilitasi Audiens Rumah Pintar Pemilu itu mengangkat tema yang cukup berat yakni “Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia”.

Empat komisioner KPU Sulawesi Tengah, Sahran Raden, Naharuddin, Samsul Y Gafur dan Halima menjadi pembicara utama dalam diskusi yang amat serius dan bernuansa akademik itu. Dipandu oleh Kasubag Hukum KPU Sulawesi Tengah Cherly Azharuddin dan dihadiri dosen dan puluhan mahasiwa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako Palu. Diskusi ini sengaja melibatkan mahasiswa sebagai upaya meningkatkan pengetahuan mereka tentang kepemiluan.

Salah satu topik yang mencuat dalam diskusi itu adalah keunggulan dan kekelemahan sistem proporsional daftar terbuka dan sistem mayoritarian (distrik) yang saat ini dianut dalam kepemiluan di Indonesia. Sistem proporsional daftar terbuka (open list proportional representation), rakyat memilih gambar partai juga memilih nama calon yang dikehendaki dari partai yang ikut pemilu. Sedangkan sistem mayoritarian (distrik) artinya wilayah dibagi dalam daerah pemilihan.

Kelemahan proporsional daftar terbuka misalnya, munculnya calon anggota DPR/ DPRD yang tidak kompatibel atau berkualitas. Sebab, banyak calon yang diajukan oleh parpol hanya karena memilikiki popularitas, kritik Ifan Gafar, salah satu mahasiswa yang menjadi peserta diskusi.

”Makanya yang perlu didorong adalah partai dalam melakukan seleksi calon. Mahasiswa harus mendorong parpol dalam penjaringan (calon) dengan baik,” kata Anggota KPU Sulawesi Tengah, Naharuddin menjawab pertanyaan mahasiswa tadi.

Menurut Naharuddin, kelemahan proporsional daftar terbuka lainnya adalah berkurangnya loyalitas anggota DPR terhadap partai politiknya. Tetapi, kata dia kekhawatiran itu telah diatasi dengan aturan, dimana parpol diberi kewenangan melakukan recall (menarik kembali) jika ada anggotanya yang duduk di DPR tidak loyal.

“Tetapi, ada juga instrumen hukum agar parpol tidak sewenang-wenang melakukan recall,” katanya.

Menurutnya, di samping kelemahan, terdapat keunggulan sistem proposional terbuka yakni menjamin keterikatan anggota DPR dengan pemilih atau konstituennya. Sehingga, kata Naharuddin, mereka yang terpilih menjadi anggota DPR fokus mengurus daerah pemilihannya.

“Rakyat yang diwakilinya diperjuangkan pada level kebijakan,” kata Naharuddin.

Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang diterapkan pada pemilu era Orde Baru.

“Siapa yang akan duduk di DPR, rakyat tidak tahu. Tapi, dengan sistem proporsional terbuka, maka calon ditampilkan pada surat suara untuk dipilih,” katanya.

Kelemahan berikutnya dari sistem proporsional daftar terbuka adalah kecenderungan politik uang dalam pemilu. Hal itu dikemukakan Sahran Raden, juga menanggapi pertanyaan dari peserta diskusi. Sahran Raden mengatakan, sistem proporsional terbuka memberi kesempatan lebih banyak kepada calon anggota DPR/ DPRD berkampanye, sehingga lebih dekat dengan masyarakat.

“Maka, kecenderungan atau potensi adanya politik uang sangat besar, terutama mereka yang mencalonkan diri di dapil tertentu dengan kultur politik yang masih pragmatis. Kecenderungan politik uang masih besar, memilih karena dibayar,” kata Sahran Raden.

Tetapi, masalah politik uang itu juga sudah diatur dalam undang-undang.

“Ada sanksi pidana, jika calon menyuap pemilih,” lanjut Sahran Raden.

Meskipun, ujar Sahran Raden pembuktian politik uang bukan perkara mudah karena harus dibuktikan unsur TSM (terstruktur, sistematis dan massif). Harus dibuktikan, apakah benar-benar calon tersebut melakukan politik uang. Tetapi, kata dia sistem proporsional daftar terbuka saat ini dianggap yang tepat diterapkan di Indonesia. Praktik politik uang bisa dikurangi atau diisolir.

“Tinggal bagaimana penerapan hukum dilaksanakan dengan baik dan bekerjanya lembaga Bawaslu,” jelas Sahran Raden, komisioner yang produktif menulis buku bertema pemilu.

Selanjutnya, Sahran Raden menjelaskan, sistem proporsional terbuka juga diharapkan sejalan dengan sistem presidential pascapemilu. Artinya, kata dia presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif sama-sama memiliki legilitimasi sebagai hasil pemilu.

“Presiden tidak bisa dijatuhkan oleh DPR dan Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Konsolidasi demokrasi, dilihat dari hasil pemilu dengan pengisian jabatan di pemerintahan,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Sahran Raden sistem mayoritarian memiliki keunggulan di antaranya kecendrungan wakil terpilih memiliki kedekatan hubungan dengan pemilihnya. Selain itu, mendorong terciptanya penggabungan parpol kecil untuk meningkatkan jumlah suara. Sistem itu juga sederhana dan mudah digunakan, mendorong terbangunnya hubungan kelembagaan antara eksekutif dan legislatif secara seimbang.

Tetapi, sistem mayoritarian juga sekaligus memiliki kelemahan. Misalnya kurang memperhatikan keterwakilan masyarakat kecil atau mereka yang tidak memiliki akses terhadap proses politik formal, tidak memberi kesempatan bagi calon atau parpol yang tidak memiliki suara besar untuk berkembang.

Senada dengan pembicara lainnya, Samsul Y Gafur. Dia menjelaskan, keunggulan sistem proposional untuk pemilihan DPR dan DPRD, mengurangi jumlah suara yang hilang dan membuka kesempatan keterwakilan kelompok mainoritas duduk di legislatif. Tetapi, sekaligus memiliki kelemahan yakni menghasilkan koalisi partai untuk membentuk kekuatan mayoritas dalam parlemen.

“Lebih kecil kemungkinan bagi pemilih untuk menuntut pertanggungjawaban secara langsung kepada wakil-wakilnya,” jelasnya.

Samsul kemudian menjelaskan sejarah perkembangan sistem kepemliuan di Indonesia. Pada Pemilu 1955 atau pemilu pertama yang sukses diselenggarakan, dalam kondisi negara Indonesia yang masih baru merdeka dan diliputi kemelut politik, sosial dan ekonomi. Sedangkan pemilu era Orde Baru yang dilaksanakan tahun 1971, 1977, 1982, 9187, 1992 dan 1997, ditandai oleh belum hadirnya badan penyelenggara pemilu yang independen.

“Penyelenggara pemilu saat itu adalah hasil bentukan pemerintah yang berada di bawah Mendagri. “Pemilu saat itu juga masih menggunakan sistem proporsional,” jelasnya.

Berikutnya, Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah rezim Orde Baru tumbang sehingga sering disebut pemilu transisi. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup, sehingga calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.

“Nanti pada Pemilu berikutnya dimulai sistem proporsional daftar terbuka (open list proportional representative), rakyat memilih gambar partai juga memilih nama calon yang dikehendaki dari partai yang ikut pemilu. Inilah yang dianggap paling tepat untuk kondisi Indonesia saat ini,” ujarnya.

Pembicara lainnya Halima menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Misalnya, kata dia, mahasiswa tidak menjadi bagian dari praktik politik uang dalam pemilu.

“Politik uang ini penyakit moral yang berbahaya bagi demokrasi. Kalau berpartisipasi karena uang, artinya itu adalah mobilisasi,” kata Halima.

Reporter: Syamsu Rizal
Editor: Udin Salim

Ayo tulis komentar cerdas