Palu, Metrosulawesi.id – Pengamat Pendidikan Provinsi Sulteng, Dr. Asep Mahfudz menanggapi soal wacana Kementerian Agama (Kemenag) RI untuk menghapus mata pelajaran perang di Kurikulum Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada jenjang madrasah. Alasan wacana itu muncul agar peserta didik di madrasah tidak memiliki pemikiran radikal.
Asep mengaku, kurang setuju dengan penghapusan mata pelajaran tersebut. Menurutnya mata pelajaran itu harus tetap dipertahankan dan diajarkan ke peserta didik.
“Perang merupakan bagian dari sejarah Islam, jadi pelajaran perang tersebut tetap harus diajarkan,” kata Asep melalui ponselnya, belum lama ini.
Asep mengatakan, bahwa bukan tentang strategi perangnya yang harus diajarkan, namun nilai perjuangan yang dapat dipelajari dalam pelajaran perang tersebut.
“Nilai yang harus ditanamkan adalah nilai perjuangan hidup (struggle of life), Rasulullah berperang untuk membela dan mempertahankan agama dan kaumnya terhadap serangan-serangan orang kafir, bukan tentang strategi perangnya, tapi makna perang itu dalam kehidupan membela agama,” jelasnya.
Pada zaman nabi, kata Asep, perang adalah bagian dari dakwah, Nabi Muhammad tidak pernah memulai perang dan tidak berniat menyakiti siapapun. Dalam sejarah, kaum kafirlah yang memulai perang. Dalam strategi perang juga Rasulullah tidak serta merta memerintahkan untuk membantai dan membunuh.
Hal senada disampaikan Dekan FKIP Unisa Palu, Idrus. Dia mengatakan, pemikiran radikal bukan berasal dari mata pelajaran, melainkan dari pengaruh lingkungan yang tidak memberikan pemahaman Islam rahmatan lil alamin.
“Sejarah perang yang terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak bisa ditutup-tutupi, karena itu adalah bagian dari Sejarah Kebudayaan Islam. Kekhawatiran peserta didik mendapatkan pemahaman radikal dari mata pelajaran perang sehingga dihapus adalah langkah yang keliru,” ungkapnya.
Kata Idrus, jika kekhawatiran peserta didik bisa mendapatkan paham radikal dari mata pelajaran perang, itu bukan mata pelajarannya yang bermasalah dan harus dihapus, melainkan gurunyalah yang harus diberi bekal pemahaman, agar bisa mencari metode yang baik dan benar.
“Agar dalam menyampaikan mata pelajaran itu tidak melahirkan pemikiran radikal di kalangan peserta didik,” katanya.
Sementara itu, Kabid Madrasah Kanwil Kemenag Sulteng, Kamaruddin Syam, mengaku belum menerima informasi tersebut secara resmi. Namun jika dihapus, pihaknya pun tidak setuju.
“Sebab yang namanya sejarah tidak bisa ditutup-tutupi dari generasi, karena setiap peristiwa ada hikmah didalamnya yang menjadi pelajaran generasi berikutnya, termasuk peristiwa perang di zaman nabi dan para sahabat,” katanya.
Reporter: Moh Fadel
Editor: Yusuf Bj