
- Catatan Jelang Setahun Pascabencana (Bagian 2)
Masa tanggap darurat telah berakhir pada 26 Oktober 2018. Tetapi, sampai satu tahun pascabencana, seratusan pengungsi masih betah di tenda-tenda darurat.
Gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi mengakibatkan 55 ribu rumah rusak di wilayah Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Sebanyak 11 ribu di antaranya rusak berat dan 6 ribu hilang. Salah satunya, rumah milik Nanang (41) di Jalan Seruni lll Perumnas Balaroa, hilang ditelan likuefaksi.
“Kami berharap agar secepatnya untuk pembangunan hunian tetap karena sudah setahun mendiami shelter pengungsian,” terang Nanang ditemui di shelter di area Sport Center, Jalan Sumur Yuga Kelurahan Balaroa, Rabu, 18 September 2019.
Nasib serupa juga dialami Djafar. Rumahnya di Jalan Seruni Raya Perumnas Balaroa juga ditelan likuefaksi. “Kalau untuk huntap, kami sudah didata akan ke wilayah Tondo yang dibangun oleh pihak Yayasan Budha Tzu Chi,” ujarnya.
Satu tahun pascabencana, Nanang dan seratusan keluarga lainnya masih tinggal di tenda. Sementara, huntap yang diharapkan masih dalam tahap pembangunan. Nanang dan Djafar akan direlokasi ke huntap karena bekas rumahnya yang dilanda likuefaksi, masuk dalam zona merah.
Walikota Palu, Hidayat pada konferensi pers di kantornya, 9 Juli 2019 mengungkapkan, huntap dibangun di Duyu dan Talise. Tahap I di Duyu akan dibangun 500 unit di lahan seluas 38,6 hektare. Sedangkan di Tondo, tepatnya di belakang kampus Universitas Tadulako Palu pembangunan huntap tahap satu dibangun 1.000 unit. Pada 4 Maret 2019, telah dilakukan peletakan batu pertama di Tondo, tepatnya di belakang kampus Universitas Tadulako Palu.
Walikota Palu juga telah membangun kesepakatan dan dituangkan dalam bentuk berita acara tentang penyerahan wilayah Kabupaten Sigi seluas 115 hektare kepada Pemkot Palu. Berita acara telah disampaikan ke Gubernur Sulteng pada 4 Maret 2019 untuk diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri.
Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kota Palu Dharma Gunawan Mochtar, sampai saat ini sudah terbangun sekitar 400 unit huntap tahap satu di Tondo. Sedangkan di tempat lainnya sedang dalam proses seperti di Petobo dan Duyu.
“Tahun ini kami menyusun master plan itu dan kemarin kami bertemu dengan masyarakat Petobo yang menyatakan ada lahan yang siap untuk kapasitas sekitar 1.200 Kepala Keluarga (KK),” kata Dharma Gunawan Mochtar ditemui di ruang kerjanya, Rabu 18 September 2019.
Kepala BPBD Palu Presly Tampubolon mengungkapkan, sebanyak 6.596 keluarga yang akan direlokasi ke huntap. Sementara, huntap yang sudah dan sedang dibangun baru 2.200 unit.
“Sekarang sudah terpetakan 2.200 yang dibangun oleh pihak swasta yakni dari Yayasan Buddha Tzu Chi, AHA Centre, kemudian Walikota Surabaya, walikota-walikota se-Indonesia, kemudian ada yayasan-yayasan lainnya,” ungkap Presly ditemui di ruang kerjanya, Selasa 17 September 2019.
Presly mengemukakan, BPBD telah melakukan verifikasi dan validasi. Hasilnya, sebanyak 1.422 yang akan menuju Huntap di Tondo.
“Pemetaan ini dilakukan agar kita paham berapa sesungguhnya yang berminat ke Tondo, Talise, dan Duyu. Jangan nanti pada saat pembangunanya sudah berjalan begitu besar pembiayaan tidak ada yang mau ke sana,” jelas Presly.
Ditanya kapan huntap mulai dihuni? Presly tak menyebutkan tanggal. Alasanya, secara fisik belum siap semua. “Air belum ada, listrik belum ada. Bangunan yang selesai belum jelas berapa yang siap dihuni. Sehingga kita belum bisa menetapkan kapan akan ditempati,” kata Presly, Selasa 24 September 2019.
Adapun yang direlokasi ke huntap adalah warga yang rumahnya masuk di wilayah zona merah likuefaksi dan tsunami, termasuk yang berada di patahan sesar Palu Koro. Ruang untuk bebas hunian di sempadan sesar adalah 10 meter ke kiri, dan 10 meter kanan. Sehingga itu sudah dipatok sekarang ini oleh BMKG dan Kementerian ATR. Begitupun di lokasi likuefaksi dan tsunami itu sudah dipatok.
“Patok inilah menjadi pertanda bahwa lokasi itu adalah zona terlarang untuk hunian, dan warga yang tinggal di lokasi zona merah itu harus direlokasi. Kemudian terkait hak-hak tanah di zona merah itu masih tetap menjadi hak masyarakat, sepanjang pemerintah tidak memutuskan hak keperdataan. Jika misalnya pemerintah ganti tanahnya dengan uang berarti sudah diputuskan hak keperdataannya,” katanya.
Tetapi sepanjang itu tidak dilakukan oleh pemeritah, berarti masyarakat masih tetap hak keperdataanya. Tetapi, lokasi lahan didesain bukan sebagai hunian.
“Inilah yang sedang dirancang oleh pemerintah dalam memanfaatkan lahan itu bekerja sama dengan Dinas Tata Ruang dan Pertanahan,” ujar Presly.
Beda dengan Nanang dan Djafar, yang masih menghuni shelter di Balaroa, puluhan warga Duyu, kini bernapas lega. Sebanyak 47 warga Duyu, Kecamatan Tatanga telah mendapatkan bantuan pembangunan rumah. Bantuan itu berasal dari Yayasan Islam Bina Umat.
Lurah Duyu, Nurdin F Adam menjelaskan total bantuan tersebut sebesar Rp3,7 miliar dengan progres pengerjaan mulai dari pembuatan pondasi hingga pemasangan atap. Sedangkan, anggaran dana untuk pembangunan 10 rumah tahap pertama senilai Rp75 juta per satu rumah. Sementara itu, bagi 37 rumah yang merupakan tahap dua sekitar Rp80 juta per rumah.
“Alhamdulillah sebagian sudah 80 persen, bahkan ada bangunan rumah bantuan yang mencapai 100 persen,” jelasnya.
Sebelumnya, Yayasan Islam Bina Umat saat masa tanggap darurat bencana memberikan bantuan berupa logistik terhadap penyintas. Lurah Duyu yang mengupayakan bantuan logistik dan 47 rumah tersebut.
Ratna (50), salah satu warga penerima bantuan rumah dari Yayasan Islam Bina Umat mengucapkan rasa terima kasih atas bantuan tersebut. Sebelumnya, rumah yang ditinggali bersama suami dan dua anaknya mengalami kerusakan cukup parah akibat guncangan gempa 28 September 2018 lalu. Tepatnya di RW 02 Jalan Gawalise, Kelurahan Duyu Kecamatan Tatanga.
Rumah Ratna masuk dalam wilayah zona merah yang telah ditetapkan pemerintah. Ketika bantuan itu didapatkan, dirinya pun langsung diperintahkan untuk segera mencari lahan sebagai pembangunan rumah bantuan yang tak jauh dari tempat tinggal sebelumnya.
“Semua ukuran rumah sama sekitar 6×7 setengah. Sedangkan, upah kerja dari tukang semuanya Rp18 juta dan ditanggung dari pihak yayasan. Kami merasa bersyukur adanya bantuan ini. Tidak lama lagi kami akan pindah dan tinggal beberapa bahan kita gunakan,” ungkapnya.
Reporter: Fikri Alihana, Moh Fadel dan Syamsu Rizal
Editor: Udin Salim