- Catatan Satu Tahun Pascabencana (3-Habis)
Catatan satu tahun pascabencana kali ini sudah memasuki bagian tiga. Bagian terakhir ini mengangkat soal ekonomi korban bencana. Mereka terus bertahan di antara impitan ekonomi, tanpa bantuan dari pemerintah. Berikut laporannya.
SENIN, 26 Agustus 2019. Masih pagi, tetapi matahari begitu terik di Pantai Mamboro. Mohammad Abdi duduk di atas bekas bangunan yang hancur rata dengan tanah. Ia memulung besi bekas. Bajunya basah oleh keringat.
Pria 32 tahun itu tak ingin terbuai dengan janji-janji pemerintah. Pencairan dana stimulan dan dana jaminan hidup yang dijanjikan pemerintah belum jelas jadwalnya.
“Sejak pabrik tutup karena bangunannya hancur, saya tidak punya pekerjaan tetap lagi,” kata Abdi.
“Sementara,” lanjut dia, “saya harus menafkahi istri.”
Abdi alias Aan adalah warga RT 1 RW 2 Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara. Rumahnya sangat dekat dengan pantai, dibatasi Jalan Trans Sulawesi. Pilihannya: peras keringat, kerja serabutan atau duduk manis berpangku tangan. Ia memilih berjuang.
Nasib sama juga dialami Nurwasia (40). Sebelum bencana, ibu dua anak itu punya kios kecil-kecilan di Mamboro, tepi Jalan Trans Sulawesi.
“Hancur semua. Tidak ada yang tersisa, kecuali piring makan,” kata Nurwasia.
Kini, ia tinggal di hunian sementara di belakang Terminal Mamboro.
“Saya mau buka kios lagi, tapi tidak ada modal,” katanya.
Di Huntara itu, ada juga Mersy Adones (50) yang payah mengangkut ikan dari pantai Mamboro ke huntara sejauh satu kilometer. Ikan itu dijemur di halaman huntara.
“Rumah saya di Perikanan (Mamboro Barat) tidak bisa ditempati lagi. Makanya saya bawa ikan dari pantai ke sini. Dijemur di sini,” kata Mersy Adones, Senin 26 Agustus 2019.
Bukan hanya di Mamboro. Pelaku usaha kecil di Balaroa, Palu Barat juga tak kalah perihnya. Menurut Ketua RT 02/RW 04, Rudi Afrianto, lebih dari separuh warga di Perumnas Balaroa memiliki usaha kecil yang menopang ekonomi keluarga. Tapi, aktivitas praktis itu terhenti setelah kompleks di telan tsunami.
“Sekitar 60 persen wiraswasta. Ada usaha mandiri ibu rumah tangga. Masing-masing proaktif. Seperti isti saya dulu usaha kue. Tapi, mikser, alat gilingan mi, hilang semua ditelan likuefaksi,” kata Rudi Afrianto yang akrab dipanggil Om Logo, Sabtu 20 Juli 2019.
Begitu juga Farhanudin, warga yang sebelumnya tinggal di Jalan Seruni, Perumnas Balaroa. Usaha pakan ikan lele terkubur dalam tanah akibat likuefaksi.
“Pada waktu pendataan, jenis usaha ditanyakan. Ditanya apa usaha di rumah? Saya jelaskan, saya bikin pakan ikan lele. Usaha itu baru jalan satu bulan sebelum likuefaksi melanda Perumnas Balaroa,” timpal Farhanudin.
Rudi Afrianto dan Farhanudin mengaku meski terguncang pascabencana, tapi semangat berwiraswasta tidak goyah. Hanya saja, masalahnya sama dengan warga Mamboro tadi: terkendala modal. Karena itu, ia berharap ada bantuan modal dari pemerintah. Agar, kata Farhanudin, warga benar-benar bangkit dari keterpurukan ini. Bukan sekadar slogan “Sulteng Bangkit”, tapi realitasnya, hampir sepuluh bulan setelah bencana dahsyat itu, pelaku usaha kecil tetap tak berdaya.
“Sangat dibutuhkan bantuan modal,” kata Om Logo.
“Kami ini bukan hanya korban likuefaksi, tapi juga korban perasaan karena janji-janji,” timpal Farhanudin.
Jika mengacu pada Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 4 Tahun 2015, sesungguhnya ada peluang bagi pelaku IKM untuk mendapatkan modal usaha dari pemerintah. Namanya bantuan penguatan ekonomi yang nilai bisa sampai Rp5 juta per kepala keluarga.
Skema bantuan ini di luar dana jaminan hidup dan dana stimulan perbaikan rumah. Syaratnya juga sama, yakni diusulkan oleh pemerintah kabupaten kota. Tetapi, jangankan bantuan penguatan ekonomi, dana jadup Rp600 ribu per jiwa, belum tersalurkan kepada seluruh pengungsi. Begitu juga dana stimulan, apalagi huntap.
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Palu mencatat sebanyak 1.300 industri kecil menengah (IKM) di kota ini yang menjadi korban terdampak bencana 28 September 2018. Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Industri Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Palu, Syarifudin, Selasa 17 September 2019 mengatakan, pihaknya juga melakukan pendataan.
“Yang baru dimasukkan by name by address dua kecamatan yaitu, Tawaeli dan Palu Utara. Sementara untuk kecamatan lain masih berjalan sesuai data sebelum bencana,” terangnya.
Sesungguhnya, kata dia sudah ada bantuan yang diberikan kepada pelaku IKM. Tetapi, jumlahnya memang masih sangat minim, sekitar 150 IKM. Artinya, masih ada sekitar 1.150 IKM yang terdampak bencana belum mendapatkan bantuan.
Begitulah yang dialami 30 industri kecil menengah kayu hitam yang sama sekali belum tersentuh bantuan. Seperti diungkapkan pemilik kerajinan kayu hitam di Palu, Made Muliawan. Ia mengatakan telah mengajukan permohonan modal usaha ke dinas terkait. Namun, hingga hampir setahun pascabencana belum ada respons.
“Kemarin sempat kami serahkan datanya terkait apa yang dibutuhkan. Malahan kita datang ke instansi terkait untuk menyampaikan keluhan maupun permasalahan yang dihadapi, tetapi sampai sekarang masih nihil,” ujar Made Muliawan kepada Metrosulawesi, Sabtu 14 September 2019, ditemui di galeri miliknya di Jalan Samratulangi, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur.
Menurutnya, peralatan produksi banyak yang rusak, bahkan hilang akibat bencana. Sebagian juga masih mengandalkan alat seadanya untuk membuat kerajinan. Sehingga, kualitas produk menurun. Dampaknya, omzet IKM kayu hitam menurun drastis hampir 50 persen.
Anjloknya omzet juga dialami Banua Cokelat. Omzetnya turun drastis sampai 75 persen. Pemilik IKM Banua Cokelat, Ansaruddin kepada Metrosulawesi, Senin 16 September 2019 menaksir kerugiannya mencapai Rp100 juta. Dampak berikutnya adalah pengurangan tenaga kerja. IKM produk olahan cokelat di Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista) Nomor 70, Palu ini terpaksa memberhentikan seorang karyawannya.
“Yang dulunya penghasilan sebelum bencana bisa satu minggu, sekarang satu bulan pun tidak dapat. Apalagi bantuan untuk tambahan modal bagi pelaku IKM sama sekali tidak ada dari dinas terkait, kondisinya juga sudah seperti begini dan kita tidak bisa menyalahkan terus pemerintah yang pasti tidak ada manusia yang mengharapkan bencana ini terjadi,” ungkapnya.
Ia mengaku tidak terlalu berharap banyak dari bantuan pemerintah. Sejak Januari 2019 dengan bermodalkan dana simpanan yang diperoleh dari penjualan cokelat sebelumnya.
“Lalu kami sempat dijanjikan akan dapat bantuan. Tapi, sampai hari ini, tidak ada. Mungkin ada orang yang lebih pantas dapat bantuan itu. Bukan hanya Kota Palu, daerah yang terdekat seperti Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong kalau mau dibilang semua pasti terdampak bencana,” tuturnya.
Reporter: Fikri Alihana, Syamsu Rizal
Editor: Udin Salim