Ihsan Basir. (Foto: Ist)
  • Kadis DP3A: Efektif untuk Pencegahan Kekerasan Seksual

Palu, Metrosulawesi.id – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulteng, Ihsan Basir, mendukung pemberlakuan hukuman tambahan kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual. Menurutnya hal serupa perlu diberlakukan di Sulteng.

“Sangat perlu diberlakukan, tapi untuk kasus pengulangan, artinya lebih dari satu kali melakukan kekerasan seksual. Penerapannya paling efektif untuk pencegahan,” ujar Ihsan kepada Metrosulawesi, Senin, 26 Agustus 2019.

Dia mengatakan dalam rangka untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual, penerapan hukuman kebiri kimia harus mendapat dukungan. Pihaknya tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap perempuan, khususnya anak.

Dalam waktu dekat, DP3A Provinsi Sulteng bersama pihak terkait akan membawa usulan pemberlakuan hukuman tambahan kebiri bersama pihak terkait. Usulan itu rencananya akan disampaikan saat rapat sub klaster pemenuhan hak perempuan bersama Kepolisan, Kejaksaan, Kemenkumham dan pihak terkait.

“Setiap bulan kami rutin melakukan pertemuan membahas pemenuhan hak perempuan, khususnya yang di Huntara,” ungkapnya.

Untuk wilayah Sulteng kata Ihsan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak masuk dalam kategori tinggi. Hal ini diketahui berdasarkan laporan yang masuk ke DP3A Provinsi Sulteng.

“Tapi biasanya juga ada kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan karena malu atau menyangkut nama baik keluarga. Itu karena pelakunya sesama anggota keluarga sehingga memilih tidak melaporkan,” ucap Ihsan.

Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman tambahan pidana kebiri kimia terhadap Aris (20), terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap sembilan anak sejak 2015.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia menerapkan pemberatan hukuman dengan pidana kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Pemberlakuan hukuman tambahan kebiri juga didukung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise.

“Itu adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan, sehingga efek dari hukuman tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok,” kata Yohana.

Yohana mengatakan Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan pemberatan hukuman melalui pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 81 Ayat (6) dan Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Reporter: Michael Simanjuntak
Editor: Udin Salim

Ayo tulis komentar cerdas