FOTO BERSAMA - Sekdaprov Sulteng, Dr Hidayat Lamakarate foto bersama sejumlah petinggi Bank Sulteng dan Bank BTN usai seminar di Palu, Rabu 24 Juli 2019. (Foto: Tahmil Burhanuddin/ Metrosulawesi)
  • Seminar Penetapan Status Hukum terhadap KPR Korban Likuefaksi

Palu, Metrosulawesi.id – Pemerintah Sulawesi Tengah bersama pelaku industri jasa keuangan (IJK) mengadakan seminar perbankan bertema Penetapan Status Hukum Terhadap KPR dan Atau Tanah Jaminan Kredit yang Terdampak Likuefaksi, Rabu 24 Juli 2019.

Dari hasil pertemuan tersebut, belum ada solusi yang ditemui untuk kejelasan nasib debitur yang terdampak langsung oleh bencana alam, terutama likuefaksi di daerah ini.

Pemerintah Sulawesi Tengah belum bisa memberikan jawaban terkait tuntutan para debitur di Sulawesi Tengah yang terdampak langsung oleh bencana alam. Hal ini diungkapkan langsung oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sulawesi Tengah Hidayat Lamakarate dalam forum tersebut.

“Kami dari Pemprov betul-betul mengapresasi kegiatan ini. Kami belum bisa memberikan jawaban jaminan apapun terhadap persoalan ini karena benar-benar domainnya OJK dan perbankan,” ungkap Hidayat.

“Termasuk tanah jaminan, tanah yang terlikuefaksi, bagaimna status hukum mereka? Kami tidak bisa memberi jawaban,” katanya.

Menurut data Pemerintah Provinsi, ada sekitar 5.000 rumah warga yang hilang terutama terdampak likuefaksi di wilayah Kabupaten Sigi, Palu dan Donggala. Nasib keperdataan atau hak kepemilikan tanah mereka pun masih jadi pertanyaan.

Kepala Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Tengah menyebut, berdasarkan peraturan perundangan, hak kepemilikan (keperdataan) tanah secara otomatis akan terhapuskan jika tanah tersebut musnah. Sementara tanah yang berada di wilayah likuefaksi menurutnya belum jelas aturan hukumnya, sehingga butuh peraturan untuk menangani kasus ini.

“Masalah tanah akibat bencana alam di Palu, segera setelah adanya bencana kita lakukan pemotretan udara. Memang koordinat bidang tanah itu bergeser,” jelas Kepala Kantor Wilayah BPN Andry Novjandri.

“Aturannya sebenarnya sangat mendasar, negara mempunyai wewenang menguasai tanah. Mengatur peruntukan persediaan tanah, menentukan satatus hukum,” ujarnya.

“Hak itu terhapus apabila tanahnya musnah. Tapi kalau seperti likuefaksi kan tanahnya masih ada, tapi penggunaannya itu fixnya berupa peraturan tata ruang daerah. Itu juga tidak boleh ditinggali lagi karena zona merah,” terang dia.

Sebagai salah satu bank yang melayani debitur kredit kepemilikan rumah, Kepala Cabang Bank Tabungan Negara (BTN) Palu Reno Rahargono pun berharap pemerintah segera mengeluarkan peraturan daerah untuk kejelasan nasib masyarakat (debitur) yang terdampak bencana itu.

“Kami juga harap lewat seminar ini ada status hukum terkait KPR yang terlikuifaksi,” katanya.

Kata dia, debitur bank BTN ada sekitar 300 unit rumah yang terkena likuefaksi. Jumlah tersebut setara dengan sekitar Rp25 miliar. Untuk menghapuskan utang debitur tersebut pihaknya pun membutuhkan landasan hukum.

“Kami perlu dasar hukum untuk disampaikan ke pengambil kebijakan di kantor pusat,” jelasnya.

Terkait hak kepimilikan tanah, perbankan pun harus paham bahwa tanah yang hilang atau musnah secara otomatis haknya sudah dihapus. Semisal lokasi yang ambruk atau tenggelam ke dasar laut saat gempa bumi terjadi.

Berdasarkan hasil seminar tersebut, akan diupayakan lahirnya perda yang dapat mengatur dan mendukung para debitur yang menjadi korban akibat likuefaksi, terutama terkait kejelasan hak kepemilikan atas tanah yang terdampak.

Reporter: Tahmil Burhanuddin
Editor: Udin Salim

Ayo tulis komentar cerdas